Masa Lalu, Labil, dan Proses

Hallo,
Hari yang keseluruhannya dingin... entahlah, tetapi setiap bulan Ramadhan, di kampungku suasananya selalu begini.
Di penghujung siang yang dingin ini, aku merasa sesuatu keanehan. Seperti ada kekosongan yang tak biasa. Mungkin karena seseorang yang hampir setiap hari aku khawatirkan keadaannya tengah berada jauh di tempat yang tidak bisa aku bayangkan.
Tetiba aku berpikir, orang yang setiap hari bertemu saja bisa dia lupakan dengan mudah, apalagi aku? orang yang mungkin tidak ada satupun momenku yang ia simpan di memori otaknya.
Tapi... ah sudahlah, bagiku itu hanya cerita biasa...
Bukankah setiap manusia memiliki luka dan ketakutan masing-masing?
Hari ini aku belajar dari kisah sahabatku... Lebih tepatnya pembenaran atas sikapku.
Beberapa orang dalam kehidupanku ceritanya hampir mirip denganku. Kami sama-sama terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Atau mungkin memang kami---kebanyakan wanita---adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam jajaran orang-orang mudah lupa? Atau mungkin kami yang terlalu banyak mengingat?
Aku rasa kami hanya manusia-manusia yang terlalu mencintai proses dan waktu. Kami terlalu sayang untuk melepas ingatan-ingatan indah dan hal-hal baik pada masa lalu. Padahal aku yakin itu hal bodoh yang seharusnya kami hindari. Bahkan keledai-pun tidak akan jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Ini seperti aku melihat cerminan diriku pada orang-orang sekitarku.
Aku pernah dengar, " Ketika kau ingin tahu siapa dia sebenarnya, maka lihat-lah orang-orang yang ada di sekelilingnya." Dan itu memang tepat. Seseorang akan berteman dan merasa nyaman dengan orang-orang yang hampir sama dengannya. Itu sudah naluriah, alam bawah sadar. Ketertarikan emosional.
Siang tadi, seorang sahabat mencurahkan kisahnya hari ini. Seseorang dari masa lalu yang ingin ia "jarang ingat" tetiba memarahinya karena sebuah tweet-nya yang dianggap seronok. Lelaki itu mengingatkannya, menasehatinya, sebuah perhatian terselubung menurutku. Perhatian dengan omelan yang menyakitkan namun manis jika kau baca caranya menulis pesan.
Lelaki dari masalalu sahabatku ini mengatakan bahwa " hal-hal kotor itu bukan suatu hal yang patut untuk dibicarakan oleh wanita, apakah ibumu akan senang ketika melihat anaknya berkata hal-hal seronok seperti itu? Lalu apakah aku harus berkompromi ketika kamu mengatakan hal-hal seperti itu? "
Hahaha, bagiku itu manis. Dia masih memerhatikan kita sampai hal terkecil yang ada. Tweet ! Bayangkan, hanya sebuah kalimat yang berjumlah 140 karakter masih membuatnya marah? Sebuah bentuk perhatian yang manis. Sahabatku pun merasakan hal yang sama denganku. Dia menganggap itu adalah perhatian kecil yang indah namun menyakitkan.
Aku tahu rasanya, bagaimana tidak menyakitkan, ketika lelaki dari masa lalumu tidak mau menerima cintamu lagi, sedang kau masih mencintainya, lalu dia dekat dengan wanita lain, namun pada saat yang sama selalu memerhatikan setiap tingkah dan kegiatanmu. Apakah itu tidak menyakitkan?
Mungkin kami memang membutakan logika kami, banyak kemungkinan yang sebenarnya ada pada situasi itu, boleh jadi karena si lelaki memang sudah tidak menyayangi namun masih memerhatikan layaknya adik perempuannya. Atau boleh jadi si lelaki hanya sekadar memerhatikan tanpa memiliki rasa.
Aku hanya berpesan pada sahabatku ini, meniru apa yang aku lakukan pada diriku sendiri. Pembenaran atas sikapku sendiri sebenarnya.
Aku hanya memerintahkannya untuk membunuh hatinya sendiri sebelum hati itu dibunuh oleh lelaki dari masa lalunya itu. Bukankah lebih sakit ketika kau merawat sesuatu namun tetiba diinjak lalu dibunuhnya sesuatu itu oleh orang lain daripada ketika kau membunuh apa yang sudah kau rawat sendiri?
Ini sebuah pilihan..., pilihan untuk dijatuhkan atau menjatuhkan dirimu sendiri. Dibunuh atau membunuh dirimu sendiri. Hanya dua pilihan itu. Pilihan yang amat sangat sulit. Tidak ada pilihan lain. Maka mana yang akan kau pilih? Jika dibunuh, maka rasakan saja kesakitan yang tidak hanya sekali-dua kali, namun lebih dari itu.

Setiap orang memiliki lukanya masing-masing. Dan beberapa orang yang aku kenal, juga memiliki luka yang hampir sama. Sama-sama berpisah karena keadaan. Sebenarnya dalam hal ini tidak patut kami menyalahkan keadaan. Hanya memang kami saja yang tidak bisa saling menjaga, menjaga hati, menjaga komitmen, menjaga semua yang telah kami bina, dan pada akhirnya hal-hal itu hanya memunculkan luka.
Jika ini labil, maka kami memang masih labil. Tetapi bukankah setiap manusia selalu berproses? Dia adalah makhluk yang dinamis, maka salahkah kami yang masih berproses keluar dan menyelesaikan kelabilan?
Setiap proses selalu ada hasilnya bukan? Lalu, tunggulah kami, tunggu lah kami dari proses masa lalu kami.

Komentar

Postingan Populer