Theo!
Namanya Theodore Elyana Setiaji tapi aku tidak tahu mengapa sahabat dekatnya memanggil perempuan bermata sipit itu Bec, sampai suatu waktu yang luar biasa. Dia cukup pendiam dibandingkan teman-temannya yang lain. Berkacamata dan rambut ekor kuda. Tawanya sumringah, namun tidak memekakan telinga. Cukup humble namun tidak menonjolkan diri. Membaca di perpustakaan namun juga berkumpul di kantin. Cuek namun murah senyum. Sangat biasa. Sederhana.
Aku memanggilnya Theo, selayaknya teman baru yang memanggil seseorang dengan nama depan. Beberapa kali mengambil mata kuliah yang sama membuat dia mau tersenyum padaku ketika berpapasan.
Theo tidak hanya jarang basa-basi. Tapi dia juga memiliki pemikiran yang cemerlang. Dia tidak suka terlalu banyak memunculkan dirinya dalam kelas. Hanya saja, sekali berbicara, kita akan tahu kapasitasnya.
"Kamu Rahagi?" Tanya Theo di sebuah kelas pertama kali jumpa.
Aku tengah mencatat kala itu. Baru beberapa menit pembagian kelompok, Theo sudah berpindah tempat di sampingku.
"Iya. Tapi panggil saja aku Igra." ucapku sambil tersenyum. Theo membalas senyum kemudian melanjutkan menulisnya. Tak ada lagi kata-kata yang diucapkannya setelah itu.
"Sebentar, tadi kamu belum mengenalkan namamu," sela ku di tengah-tengah keseriusannya mencatat. Aku tahu namanya, tapi saat itu pilihan untuk basa-basi menjadi senjata untuk memecahkan keheningan.
"Theodora Elyana Setiaji. Kamu boleh panggil sesukamu." ucapnya santai. Sambil tangannya terus mencatat penjelasan Bu Martiana di depan.
"Sepertinya Theo lebih mudah diingat. Haha,"
"Aku tidak keberatan," jawabnya tersenyum. Manis.
"Namaku Rahagi Sigra Pastika,"
"Oh, Sigra. Ya ya, aku baru tahu asal panggilanmu," katanya sambil kembali mencatat.
Theo wanita biasa dengan dandanan simpel yang catchy. Celana jeans yang dipadupadankan dengan kemeja putih sepatu boots kulit coklat, kacamata biground, dengan rambut kuncir kuda. Sipit dan putih. Dia bukan etnis tionghoa, namun mata sipit dimilikinya sejak lahir. Begitu biasa, namun memiliki banyak teman, mungkin pula pengagum.
Aku memanggilnya Theo, selayaknya teman baru yang memanggil seseorang dengan nama depan. Beberapa kali mengambil mata kuliah yang sama membuat dia mau tersenyum padaku ketika berpapasan.
Theo tidak hanya jarang basa-basi. Tapi dia juga memiliki pemikiran yang cemerlang. Dia tidak suka terlalu banyak memunculkan dirinya dalam kelas. Hanya saja, sekali berbicara, kita akan tahu kapasitasnya.
"Kamu Rahagi?" Tanya Theo di sebuah kelas pertama kali jumpa.
Aku tengah mencatat kala itu. Baru beberapa menit pembagian kelompok, Theo sudah berpindah tempat di sampingku.
"Iya. Tapi panggil saja aku Igra." ucapku sambil tersenyum. Theo membalas senyum kemudian melanjutkan menulisnya. Tak ada lagi kata-kata yang diucapkannya setelah itu.
"Sebentar, tadi kamu belum mengenalkan namamu," sela ku di tengah-tengah keseriusannya mencatat. Aku tahu namanya, tapi saat itu pilihan untuk basa-basi menjadi senjata untuk memecahkan keheningan.
"Theodora Elyana Setiaji. Kamu boleh panggil sesukamu." ucapnya santai. Sambil tangannya terus mencatat penjelasan Bu Martiana di depan.
"Sepertinya Theo lebih mudah diingat. Haha,"
"Aku tidak keberatan," jawabnya tersenyum. Manis.
"Namaku Rahagi Sigra Pastika,"
"Oh, Sigra. Ya ya, aku baru tahu asal panggilanmu," katanya sambil kembali mencatat.
Theo wanita biasa dengan dandanan simpel yang catchy. Celana jeans yang dipadupadankan dengan kemeja putih sepatu boots kulit coklat, kacamata biground, dengan rambut kuncir kuda. Sipit dan putih. Dia bukan etnis tionghoa, namun mata sipit dimilikinya sejak lahir. Begitu biasa, namun memiliki banyak teman, mungkin pula pengagum.
"Jadi, An...eh Igra, kapan mau mengerjakan tugas?" tanyanya tiba-tiba setelah mata kuliah selesai.
"Emmm, besok bisa. Ya kapan saja kamu bisa, aku usahakan," jawabku santai.
"Baiklah, besok. Aku yang menentukan tempat ya, di Origin saja. Jam 5 selepas kuliah. Aku tunggu di sana,"
Aku terdiam mendengarnya segera memutuskan tempat dan waktu pertemuan. Antara kesal dan terpesona. Bukan karena aku tidak pernah melihat wanita cantik sebelumnya. Tapi, aku tidak tahu mengapa Theo yang biasa itu memiliki daya tarik yang luar biasa. Jika aku lelaki yang tega membandingkan wanita satu dengan lainnya, maka Theo tidak akan bisa disejajarkan dengan wanita-wanita cantik di kampus ini.
Kampusku berada di tengah kota yang gaya hidupnya tinggi. Kampus swasta yang cukup bonafit. Sudah pasti, sosialita bertebaran. Mulai dari pemula hingga kelas kakap. Namun, Theo adalah jenis yang lain. Dia tidak cantik, dandanannya pun biasa. Dengan gaya hidup yang biasa. Namun, dia memukau.
Kami pun bertemu untuk kedua kalinya di Kedai Origin. Beberapa kilometer dari kampus. Tempat yang cukup lengang di tengah lokasi pertokoan. Bau kayu manis semerbak tercium saat kubuka pintu kacanya. Theo sudah menunggu dengan rambut kuncir kudanya. Di hadapannya, cokelat hangat masih melambungkan asap tipis. Mungkin baru beberapa menit lalu datang.
Aku masuk, kemudian dia melambai dengan senyum yang cukup hangat. Aku lagi-lagi tidak tahu mengapa seperti sakura berguguran di sekitarku. Aku pun menghampirinya.
"Sudah lama, Theo?" tanyaku sambil duduk di depannya. Bersiap membuka laptop.
"Lumayan, tapi tidak masalah. Baru saja pesananku datang." ucapnya
Ah, wanita ini. Tidak ada 'tidak' untuk 'iya'.
"Maaf, tadi sedikit macet di depan Lotte. Mungkin ada kecelakaan." ucapku tidak enak.
"Haha, tenang saja. Aku terbiasa menunggu di sini. Tidak terlalu membosankan. Pesan saja dulu minuman atau makanan. Cokelatnya recommended," ucapnya lagi.
Lalu pada menit-menit berikutnya, suasana mencair. Aku menangkap banyak kepolosan, kecuekan, kejujuran dari setiap perbincangan kami. Lalu baru kali itu, akhirnya aku tahu bahwa Theo merupakan wanita yang memiliki segudang kegiatan sosial. Mulai dari relawan di sebuah lembaga perlindungan anak-anak terlantar, hingga salah satu pendiri taman baca yang namanya tidak asing di telinga para mahasiswa kampus.
Dia berbicara tentang pemiskinan struktural, berbicara mengenai kebijakan pemerintah, berbicara mengenai sastra dan perlawanan, berbicara mengenai sejarah. Otaknya terlalu dalam bagi wanita mungil itu. Terlalu tidak bisa dianggap remeh bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi seperti kami. Dia bibit-bibit api, di tengah hamparan es. Ia bisa saja membakar, atau meredup kedinginan. Tapi aku yakin, dia lebih cerdas dari yang kupikirkan. Api akan mencari sumbernya.
Lebih dari itu semua, aku kagum terhadap tutur bicaranya. Theo tidak pernah menunjukkan secara terang-terangan kedalaman pikirnya. Semua ia kaitkan dengan isu-isu yang ada. Bicaranya santai seperti di luar kepala. Tidak menggurui, apalagi nyerocos tak tentu arah seperti kebanyakan aktivis 'elitis' kampus kami. Sepertinya, Theo sudah tahu sejak lama apa yang ingin dia raih. Diambilnya Jurnalistik sebagai fokus studinya. Ditambah dengan pemahaman-pemahaman kerakyatan yang dia yakini. Mungkin dia ingin menjadi wartawan, tapi media mana yang saat ini mampu menjadi media alternatif bagi isu-isu macam itu? Aku hanya membatin. Tidak berani menanyakan lebih lanjut padanya. Aku tahu, Theo pasti tahu.
"Ah, akhirnya selesai juga," ucapnya sambil meregangkan badan. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 23.10. Sudah cukup malam.
"Theo, kamu, aku antar pulang, ya?" tawarku. Kemudian dia melihat jam tangannya. Berpikir sejenak.
"Tidak perlu, Gra. Temanku pulang lewat sini. Dia juga sudah hampir selesai dari kampusnya. Aku tinggal menunggu beberapa menit lagi," ucapnya sambil tersenyum.
"Oh, oke. Rumahmu di mana memangnya?"
"Aku sewa rumah, Gra. Di perumahan Kelapa Tirta." ucapnya sambil menyeruput sisa-sisa cokelat di cangkirnya. Tak beberapa lama, seseorang masuk ke dalam kedai. Laki-laki memakai jaket hoodie abu-abu. Tingginya sama denganku, sekitar 182 cm. Memakai jeans dan sepatu sport. Sepertinya dia pun seumuran kami.
"Sorry, Bec. Motorku bocor, tadi."
"Santai.. Aku masih sama temanku," jawab Theo.
"Ah iya, Gra, kenalkan ini Kara," lanjutnya.
Lalu lelaki itu mengulurkan tangannya, aku menyambutnya. Dia tersenyum, aku pun.
"Cendrickara Kafin, panggil Kara saja,"
"Igra." balasku sambil menjabat uluran tangannya.
Tetiba hujan turun begitu deras. Ramalan cuaca sore tadi sepertinya tidak terlalu tepat. Katanya, hujan tidak turun hingga malam hari. Tetapi nyatanya, alam lebih digdaya dari ramalan.
"Wah, hujannya deras, Bec. Tunggulah sebentar lagi, ya," ucap Kara disusul anggukan Theo. Kami pun kembali duduk sambil menunggu hujan reda. Keheningan merambat. Kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Tiga orang tidak saling kenal dekat terjebak di kedai yang sudah mulai sepi ditambah hujan di luar.
"Jadi kamu satu kampus dengan Bec...em maksudku Theodora?" tanya Kara memecah keheningan.
"Iya, kebetulan kami satu kampus. Kamu kuliah di mana, Kara? Aku sepertinya belum pernah melihatmu di kampus," jawabku.
"Haaa, iya. Aku tidak mengambil komunikasi, eeemmm, siapa tadi namamu?" tanyanya, "Ah, Igra. Maaf ingatanku buruk, mungkin itu jawaban mengapa aku tidak mengambil program studi sosial saja," lanjutnya sambil tertawa.
Aku pun ikut tertawa, walaupun sebenarnya tidak begitu lucu juga. Kara cukup banyak berbicara. Sedangkan Theo semakin terlihat lebih ceria dan blak-blakan semenjak kedatangan sahabat lelakinya itu.
"Jadi, kalian berdua pacar?" tanyaku tiba-tiba setelah suasana sudah cukup mencair dengan pembicaraan yang lebih santai dari sebelum Kara datang. Lalu Theo tertawa, disusul terbatuknya Kara.
"Maaf, Gra. Tetapi kami tidak percaya ikatan itu. Aku sendiri biseksual, hahaha," ucap Theo.
Kemudian seumpama lapisan es tipis yang retak kemudian hancur. Entah. Seperti kilat yang datangnya selalu tanpa pemberitahuan. Antara percaya dan tidak percaya dengan yang diucapkan wanita luar biasa itu.
"Theo memang di luar yang kamu pikirkan, Gra," ucap Kara sambil tertawa.
Aku merasa terbodohi. Kalau ini lelucon, menurutku sama sekali tidak lucu. Itu menakutkan. Pertemanan mereka menakutkan. Hujan lama kelamaan mulai reda. Sementara perbincangan kami mulai kaku kembali setelah yang diucapkan Theo terkait orientasi seksualnya. Aku begidik membayangkan Theo terikat romantisme dengan sesamanya.
"Sepertinya sudah reda, ayo kita pulang Bec," ucap Kara sekitar pukul 00.10 dini hari.
Lalu mereka pun berpamitan. Kami keluar kedai dan pada hari-hari berikutnya sedikit sekali pertemuanku dengan Theo di kampus. Semua kembali seperti biasa, namun yang aku lihat, Theo tidak hanya diantar jemput oleh Kara, namun beberapa laki-laki lain yang tidak aku kenal.
Theo yang mulanya begitu memikat hati dengan kesederhanaannya kembali terlihat sebagai wanita biasa saja. Tapi tunggu dulu, bukankah dia selalu biasa saja, kecuali orientasi seksualnya.
"Hai, Gra," sapa Theo pada sore tadi di tangga lapangan parkir. Aku tengah duduk sendirian sambil menikmati semilirnya angin. Theo sudah duduk di sampingku. Kemeja putih dengan rambut kuncir kuda, kacamata, kulot panjang cokelat, dan sneaker putih. Sederhana. Angin menerbangkan helai-helai poninya. Aku memandanginya yang tengah menatap jauh ke depan. Detik-detik yang aneh. Kemudian tanpa aba-aba, kepala Theo menoleh ke padaku. Theo tersenyum. Aku terkaget, mengatupkan bibir, kemudian gelagapan. Aku tidak sekuno itu untuk dengan mudah merasa jatuh cinta pada seorang wanita. Aku cukup berpengalaman urusan kisah romantis macam itu. Tapi aku tidak tahu, mengapa bisa Theo seaneh itu. Atau aku yang seaneh itu.
"Gra, kamu sedang apa di sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak, aku hanya sedang menikmati sore yang cerah saja. Kamu sendiri, The?"
"Aku menunggu jemputan, seperti biasa," ucapnya sambil meregangkan badannya. Kedua tangannya menopang tubuhnya ke belakang. Aku kemudian terdiam. Sudah beberapa minggu ini, aku mengamatinya menunggu jemputan. Di seberang tempatku sekarang. Dengan lelaki yang berbeda tiap harinya.
"Dijemput Kara?" tanyaku sekenanya.
"Bukan, ada temanku yang lain," jawabnya sambil menggeleng dan menatapku. Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu, mengapa perasaan kecewa menghampiriku ketika mendengar jawabannya.
"Kamu tiap hari duduk di sini ya, Gra? Aku bisa melihatmu dari seberang, loh," ucap Theo tiba-tiba sambil tertawa. Lagi-lagi dia mengagetkanku.
"Tapi aku tidak mengawasimu, kok," belaku seperti anak kecil yang baru saja ketahuan memecahkan vas kesayangan ibunya. Theo terbahak. Kakinya menghentak-hentak, seolah-olah kata-kataku begitu lucu dan menggelikan. Aku hanya memandanginya. Theo. Tanpa terasa senyumku menyungging. Dia memang berbeda.
"Aku pun tidak menuduhmu mengawasiku, Gra. Tapi, boleh aku tahu alasanmu mengawasiku? Kamu...intelijen? Hahaha," Lagi-lagi dia tertawa.
"Kamu suka aku?" tanyanya tiba-tiba. Aku terbatuk begitu kagetnya. Seolah-olah ludah yang berada di kerongkonganku masuk diselingi dengan udara. Ah, meledaklah tawanya. Memerahlah mukaku.
"Aku sudah katakan, aku biseksual, Gra. Mau kamu percaya atau tidak. Aku terkadang menyukai teman perempuanku, namun aku pun tidak menolak berhubungan dengan teman lelakiku. Mana yang membuatku bahagia dan nyaman. Mana yang aku cintai. Ya menurutku, cukup. Bagaimana denganmu?" ucapnya. Aku menata napasku.
"Bagaimana bisa kamu memperjuangkan segala macam hal yang kamu ceritakan padaku tempo hari, sementara keadaanmu tidak, emmm... maaf, maksudku kamu...,"
"Tidak bermoral?" tanyanya datar mengakhiri ucapanku, "Love have no gender, love have no religion, love have no race, love have no age, love have no sexual orientation, I think. Dan yang pasti, aku tidak memaksa siapapun untuk menganggap benar orientasiku, Gra,"
"Tapi manusia punya, Theo. Maaf, sebelumnya. Aku tidak sedang menghakimimu,"
"Iya, aku sudah sering mendengar itu. Gra, apa yang aku perjuangkan adalah untuk orang lain, bukan untukku sendiri. Taman baca itu, aku tidak mengajarkan mereka untuk berorientasi sepertiku, mereka harus menjadi diri mereka. Membaca diri mereka. Dan semua yang aku lakukan, tidak berhubungan dengan orientasiku. Orientasiku ya tentang otoritasku terhadap tubuhku sendiri, Gra."
"Maaf, Theo,"
"Gra, begini. Maaf, mungkin kamu baru melihat seseorang berkata jujur di depanmu tentang orientasi seksualnya. Hehe. Aku menghargai diriku sendiri, aku hanya tidak ingin menutupi bahwa aku istimewa. Kamu berhak untuk risih loh, Gra. Tapi aku sedikit tersinggung tentang ucapanmu bahwa sia-sia perjuanganku, karena orientasi seksual? Kalau ini bukan kamu, aku tidak akan ambil pusing berdebat, Gra. Aku tahu dinamika dan dialektika kampus tersayang kita ini, hanya saja aku cukup tertarik denganmu."
Aku pun terdiam, dalam keadaan yang malu, bingung, kaget, dan berdebar. Theo tertarik padaku. Lucu sekali. Anginnya begitu kencang kurasakan, atau sebenarnya sedari tadi angin itu memang tidak ada. Imajinasiku yang memberikan kesejukan.
"Teman-teman dekatku memanggilku Bec, diambil dari Bitch. Aku tidak pernah terikat hubungan apapun dengan lelaki. Aku belum pernah berhubungan intim dengan siapapun, meskipun imajinasiku termasuk liar. Itulah sebabnya mereka memanggilku Bec."
"Pun dengan sesama jenis?"
"Iya. Aku tertarik juga. Kontak fisikku sebatas berciuman dan meraba. Terhadap lelaki pun. Aku cukup selektif dan membatasi diri. Aku merahasiakannya dari anak-anak dan orang-orang yang tidak perlu tahu," jelasnya. Aku terdiam. Bagiku tidak aneh wanita dan lelaki berhubungan intim di luar perkawinan sah. Tetapi sesama jenis? Oh, rasanya susah dinalar.
Tetiba hujan turun begitu deras. Ramalan cuaca sore tadi sepertinya tidak terlalu tepat. Katanya, hujan tidak turun hingga malam hari. Tetapi nyatanya, alam lebih digdaya dari ramalan.
"Wah, hujannya deras, Bec. Tunggulah sebentar lagi, ya," ucap Kara disusul anggukan Theo. Kami pun kembali duduk sambil menunggu hujan reda. Keheningan merambat. Kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Tiga orang tidak saling kenal dekat terjebak di kedai yang sudah mulai sepi ditambah hujan di luar.
"Jadi kamu satu kampus dengan Bec...em maksudku Theodora?" tanya Kara memecah keheningan.
"Iya, kebetulan kami satu kampus. Kamu kuliah di mana, Kara? Aku sepertinya belum pernah melihatmu di kampus," jawabku.
"Haaa, iya. Aku tidak mengambil komunikasi, eeemmm, siapa tadi namamu?" tanyanya, "Ah, Igra. Maaf ingatanku buruk, mungkin itu jawaban mengapa aku tidak mengambil program studi sosial saja," lanjutnya sambil tertawa.
Aku pun ikut tertawa, walaupun sebenarnya tidak begitu lucu juga. Kara cukup banyak berbicara. Sedangkan Theo semakin terlihat lebih ceria dan blak-blakan semenjak kedatangan sahabat lelakinya itu.
"Jadi, kalian berdua pacar?" tanyaku tiba-tiba setelah suasana sudah cukup mencair dengan pembicaraan yang lebih santai dari sebelum Kara datang. Lalu Theo tertawa, disusul terbatuknya Kara.
"Maaf, Gra. Tetapi kami tidak percaya ikatan itu. Aku sendiri biseksual, hahaha," ucap Theo.
Kemudian seumpama lapisan es tipis yang retak kemudian hancur. Entah. Seperti kilat yang datangnya selalu tanpa pemberitahuan. Antara percaya dan tidak percaya dengan yang diucapkan wanita luar biasa itu.
"Theo memang di luar yang kamu pikirkan, Gra," ucap Kara sambil tertawa.
Aku merasa terbodohi. Kalau ini lelucon, menurutku sama sekali tidak lucu. Itu menakutkan. Pertemanan mereka menakutkan. Hujan lama kelamaan mulai reda. Sementara perbincangan kami mulai kaku kembali setelah yang diucapkan Theo terkait orientasi seksualnya. Aku begidik membayangkan Theo terikat romantisme dengan sesamanya.
"Sepertinya sudah reda, ayo kita pulang Bec," ucap Kara sekitar pukul 00.10 dini hari.
Lalu mereka pun berpamitan. Kami keluar kedai dan pada hari-hari berikutnya sedikit sekali pertemuanku dengan Theo di kampus. Semua kembali seperti biasa, namun yang aku lihat, Theo tidak hanya diantar jemput oleh Kara, namun beberapa laki-laki lain yang tidak aku kenal.
Theo yang mulanya begitu memikat hati dengan kesederhanaannya kembali terlihat sebagai wanita biasa saja. Tapi tunggu dulu, bukankah dia selalu biasa saja, kecuali orientasi seksualnya.
"Hai, Gra," sapa Theo pada sore tadi di tangga lapangan parkir. Aku tengah duduk sendirian sambil menikmati semilirnya angin. Theo sudah duduk di sampingku. Kemeja putih dengan rambut kuncir kuda, kacamata, kulot panjang cokelat, dan sneaker putih. Sederhana. Angin menerbangkan helai-helai poninya. Aku memandanginya yang tengah menatap jauh ke depan. Detik-detik yang aneh. Kemudian tanpa aba-aba, kepala Theo menoleh ke padaku. Theo tersenyum. Aku terkaget, mengatupkan bibir, kemudian gelagapan. Aku tidak sekuno itu untuk dengan mudah merasa jatuh cinta pada seorang wanita. Aku cukup berpengalaman urusan kisah romantis macam itu. Tapi aku tidak tahu, mengapa bisa Theo seaneh itu. Atau aku yang seaneh itu.
"Gra, kamu sedang apa di sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak, aku hanya sedang menikmati sore yang cerah saja. Kamu sendiri, The?"
"Aku menunggu jemputan, seperti biasa," ucapnya sambil meregangkan badannya. Kedua tangannya menopang tubuhnya ke belakang. Aku kemudian terdiam. Sudah beberapa minggu ini, aku mengamatinya menunggu jemputan. Di seberang tempatku sekarang. Dengan lelaki yang berbeda tiap harinya.
"Dijemput Kara?" tanyaku sekenanya.
"Bukan, ada temanku yang lain," jawabnya sambil menggeleng dan menatapku. Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu, mengapa perasaan kecewa menghampiriku ketika mendengar jawabannya.
"Kamu tiap hari duduk di sini ya, Gra? Aku bisa melihatmu dari seberang, loh," ucap Theo tiba-tiba sambil tertawa. Lagi-lagi dia mengagetkanku.
"Tapi aku tidak mengawasimu, kok," belaku seperti anak kecil yang baru saja ketahuan memecahkan vas kesayangan ibunya. Theo terbahak. Kakinya menghentak-hentak, seolah-olah kata-kataku begitu lucu dan menggelikan. Aku hanya memandanginya. Theo. Tanpa terasa senyumku menyungging. Dia memang berbeda.
"Aku pun tidak menuduhmu mengawasiku, Gra. Tapi, boleh aku tahu alasanmu mengawasiku? Kamu...intelijen? Hahaha," Lagi-lagi dia tertawa.
"Kamu suka aku?" tanyanya tiba-tiba. Aku terbatuk begitu kagetnya. Seolah-olah ludah yang berada di kerongkonganku masuk diselingi dengan udara. Ah, meledaklah tawanya. Memerahlah mukaku.
"Aku sudah katakan, aku biseksual, Gra. Mau kamu percaya atau tidak. Aku terkadang menyukai teman perempuanku, namun aku pun tidak menolak berhubungan dengan teman lelakiku. Mana yang membuatku bahagia dan nyaman. Mana yang aku cintai. Ya menurutku, cukup. Bagaimana denganmu?" ucapnya. Aku menata napasku.
"Bagaimana bisa kamu memperjuangkan segala macam hal yang kamu ceritakan padaku tempo hari, sementara keadaanmu tidak, emmm... maaf, maksudku kamu...,"
"Tidak bermoral?" tanyanya datar mengakhiri ucapanku, "Love have no gender, love have no religion, love have no race, love have no age, love have no sexual orientation, I think. Dan yang pasti, aku tidak memaksa siapapun untuk menganggap benar orientasiku, Gra,"
"Tapi manusia punya, Theo. Maaf, sebelumnya. Aku tidak sedang menghakimimu,"
"Iya, aku sudah sering mendengar itu. Gra, apa yang aku perjuangkan adalah untuk orang lain, bukan untukku sendiri. Taman baca itu, aku tidak mengajarkan mereka untuk berorientasi sepertiku, mereka harus menjadi diri mereka. Membaca diri mereka. Dan semua yang aku lakukan, tidak berhubungan dengan orientasiku. Orientasiku ya tentang otoritasku terhadap tubuhku sendiri, Gra."
"Maaf, Theo,"
"Gra, begini. Maaf, mungkin kamu baru melihat seseorang berkata jujur di depanmu tentang orientasi seksualnya. Hehe. Aku menghargai diriku sendiri, aku hanya tidak ingin menutupi bahwa aku istimewa. Kamu berhak untuk risih loh, Gra. Tapi aku sedikit tersinggung tentang ucapanmu bahwa sia-sia perjuanganku, karena orientasi seksual? Kalau ini bukan kamu, aku tidak akan ambil pusing berdebat, Gra. Aku tahu dinamika dan dialektika kampus tersayang kita ini, hanya saja aku cukup tertarik denganmu."
Aku pun terdiam, dalam keadaan yang malu, bingung, kaget, dan berdebar. Theo tertarik padaku. Lucu sekali. Anginnya begitu kencang kurasakan, atau sebenarnya sedari tadi angin itu memang tidak ada. Imajinasiku yang memberikan kesejukan.
"Teman-teman dekatku memanggilku Bec, diambil dari Bitch. Aku tidak pernah terikat hubungan apapun dengan lelaki. Aku belum pernah berhubungan intim dengan siapapun, meskipun imajinasiku termasuk liar. Itulah sebabnya mereka memanggilku Bec."
"Pun dengan sesama jenis?"
"Iya. Aku tertarik juga. Kontak fisikku sebatas berciuman dan meraba. Terhadap lelaki pun. Aku cukup selektif dan membatasi diri. Aku merahasiakannya dari anak-anak dan orang-orang yang tidak perlu tahu," jelasnya. Aku terdiam. Bagiku tidak aneh wanita dan lelaki berhubungan intim di luar perkawinan sah. Tetapi sesama jenis? Oh, rasanya susah dinalar.
"Gra, aku terlahir tanpa bisa memilih. Pun manusia lain yang sama denganku. Orientasi seksual yang kami miliki bukanlah penyakit kejiwaan seperti yang selalu dilekatkan pada kami. Gra, kami manusia. Sama seperti pasangan kekasih berlawanan jenis." ucapnya sambil menatapku. Matanya berbinar. Wanita ini. Wanita yang sederhana ini. Biseksual.
Senja semakin menguning, angin semakin semilir. Rambut kuncir kudanya melambai-lambai.
"Aku tidak mau membela diri, intimidasi dan diskriminasi sudah sering kami rasakan. Hanya saja berdialog sepertinya salah satu cara yang tepat daripada aku diam saja." ucapnya lirih sambil mengeluarkan dua buah minuman kaleng dari tasnya. Diserahkannya satu untukku.
"Kami jatuh cinta sama seperti yang lainnya. Kami mencintai, mendambakan kehidupan yang damai, keluarga yang harmonis, memiliki anak, dan berbahagia sampai suatu waktu yang pada akhirnya tidak dapat diingat lagi". Melankolis sekali Theo sore tadi. Seperti seseorang yang telah menyimpan banyak masalah dalam hidupnya. Dan aku tetap terdiam. Antara aneh dan bingung. Sudah lama aku tahu sosoknya, namun tidak dengan isi kepalanya. Lalu tetiba, dia menumpahkan semuanya dengan sangat mudah. Kami baru bertemu beberapa kali saja untuk terlibat pembicaraan macam ini.
"The, maaf. Kamu terlalu banyak mengatakannya padaku, aku sedikit tidak enak. Aku takut tahu terlalu banyak," sergahku sebelum Theo semakin menumpahkan semuanya padaku.
"Kamu keberatan, Gra? Hahaha. Maaf. Aku terlalu terbiasa mengatakan apa yang aku rasakan. Maaf, maaf," seraya menepuk dahi dan tertawa. Theodora Elyana Setiaji, wanita macam apa kamu. Pintar namun ceroboh.
"Theo, tapi bagaimana rasanya kamu jatuh cinta dengan sesama wanita?" tanyaku setelah sepuluh menit lamanya kami berdiam. Menikmati horizon yang mulai berubah biru magenta. Orang-orang yang sebelumnya ramai bermain bola dan lari berkeliling sudah mulai menepi.
"Rasanya sama seperti kamu jatuh cinta dengan semua wanita yang dulu menjadi pacarmu. Risa, Namia, Dela, Luke, dan yaaa senatural itu. Aku tidak bisa memilih pada siapa jatuh cinta. Aku pernah berhubungan dengan seorang wanita, namun kami tidak menjalin hubungan romantis apapun. Aku menyukainya, dia pun. Kami saling jatuh cinta, namun tidak memiliki ikatan apapun. Senatural itu. Cinta kan sebuah kebutuhan. Bagaimana reaksi-reaksi kimia di dalam tubuhmu memproduksi zat-zat menyenangkan dan menenangkan. Senatural itu," jawabnya.
"Kamu tahu dari mana, mantan-mantanku itu?"
"Aku bilang, aku tertarik padamu. Sangat mudah mencari informasi tentangmu di kampus ini. Banyak yang mengenalmu ternyata,"
"Kamu menakutkan, Theo," ucapku tanpa bisa menyembunyikan senyumku. Dia menarik. Jujur, ceroboh, terbuka, dan biseksual. Kata terakhir itu yang masih tidak bisa aku definisikan.
Theo mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas, mengambilnya satu dan menawariku. Aku pun mengambilnya. Dia nyalakan kemudian dihisapnya dalam. Kemudian aku pun. Kami sama-sama terdiam, memandang langit yang mulai menggelap. Menyebulkan asap di udara. Mengisap gulungan tembakau itu lagi, berulang kali. Seperti sudah terlalu lama pusing memikirkan banyak hal.
"Orang tuamu tahu, kamu...biseks?" tanyaku tiba-tiba.
Dia tersenyum, kemudian mulai menerawang lagi.
"Sama seperti kehidupan banyak orang yang memiliki orientasi seksual yang dianggap berbeda. Orang tuaku menganggapku tidak serius pada awalnya. Namun, mereka lebih demokratis. Ya, walaupun aku harus memperdebatkan banyak hal dengan mereka. Tapi lagi-lagi beruntungnya aku. Ibu dan Ayahku cukup paham bahwa banyak hal yang berada di luar kendali kita," jawabnya sambil kembali menghisap rokoknya. Lampu-lampu temaram sudah mulai dinyalakan, tetapi kami berdua masih enggan berpindah dari tempat itu. Aku memandanginya, dia balas memandangku. Kami terdiam, saling mengamati lekuk wajah satu sama lain. Dia kemudian tak bisa menahan tawanya.
"Apa yang kamu cari di mukaku, Gra? Serius sekali?" tanyanya sambil tertawa geli. Aku hanya tersenyum malu. Ah, Tuhan. Mengapa wanita ini mampu memunculkan reaksi berlebihan. Seperti ada ribuan kupu-kupu di dalam perut, memberontak, kemudian terbang menuju jantungku.
"Bagaimana orang tuamu mampu menerima yang terjadi dalam dirimu itu?" tanyaku sambil mengalihkan muka. Mencoba menetralkan suasana.
"Mmmmm, Ibuku Psikolog, sementara ayahku dosen Filsafat. Ibuku tahu, orientasi seksual bukan gangguan kejiwaan, dan ayahku pun bukan tipe orang yang kaku. Kami berdiskusi dan aku menjelaskan panjang lebar mengenai perasaanku. Mulai dari bagaimana aku merasa aku menyukai sahabat perempuanku sendiri seperti menyukai laki-laki dan sebaliknya. Ibuku seperti menangani pasiennya, konseling dan segala macam. Kami melakukannya selama beberapa bulan. Untuk mencapai kesepemahaman bahwa orientasi seksualku memang seperti itu. Hampir setiap sesi, ayahku selalu mengatakan bahwa semua pilihan ada padaku. Mereka menghargaiku layaknya manusia, namun banyak konsekuensi yang harus siap kami tanggung bersama nantinya. Nama baik serta banyak hal, termasuk ketika nantinya aku benar-benar tidak bisa berumah tangga dengan siapa-siapa. Hahaha," jelasnya panjang lebar. Aku takjub. Bagaimana sebuah keluarga mampu berdiskusi mengenai masalah seperti itu. Masalah yang bagi kebanyakan orang tua merupakan aib dan kesalahan.
Senja semakin menguning, angin semakin semilir. Rambut kuncir kudanya melambai-lambai.
"Aku tidak mau membela diri, intimidasi dan diskriminasi sudah sering kami rasakan. Hanya saja berdialog sepertinya salah satu cara yang tepat daripada aku diam saja." ucapnya lirih sambil mengeluarkan dua buah minuman kaleng dari tasnya. Diserahkannya satu untukku.
"Kami jatuh cinta sama seperti yang lainnya. Kami mencintai, mendambakan kehidupan yang damai, keluarga yang harmonis, memiliki anak, dan berbahagia sampai suatu waktu yang pada akhirnya tidak dapat diingat lagi". Melankolis sekali Theo sore tadi. Seperti seseorang yang telah menyimpan banyak masalah dalam hidupnya. Dan aku tetap terdiam. Antara aneh dan bingung. Sudah lama aku tahu sosoknya, namun tidak dengan isi kepalanya. Lalu tetiba, dia menumpahkan semuanya dengan sangat mudah. Kami baru bertemu beberapa kali saja untuk terlibat pembicaraan macam ini.
"The, maaf. Kamu terlalu banyak mengatakannya padaku, aku sedikit tidak enak. Aku takut tahu terlalu banyak," sergahku sebelum Theo semakin menumpahkan semuanya padaku.
"Kamu keberatan, Gra? Hahaha. Maaf. Aku terlalu terbiasa mengatakan apa yang aku rasakan. Maaf, maaf," seraya menepuk dahi dan tertawa. Theodora Elyana Setiaji, wanita macam apa kamu. Pintar namun ceroboh.
"Theo, tapi bagaimana rasanya kamu jatuh cinta dengan sesama wanita?" tanyaku setelah sepuluh menit lamanya kami berdiam. Menikmati horizon yang mulai berubah biru magenta. Orang-orang yang sebelumnya ramai bermain bola dan lari berkeliling sudah mulai menepi.
"Rasanya sama seperti kamu jatuh cinta dengan semua wanita yang dulu menjadi pacarmu. Risa, Namia, Dela, Luke, dan yaaa senatural itu. Aku tidak bisa memilih pada siapa jatuh cinta. Aku pernah berhubungan dengan seorang wanita, namun kami tidak menjalin hubungan romantis apapun. Aku menyukainya, dia pun. Kami saling jatuh cinta, namun tidak memiliki ikatan apapun. Senatural itu. Cinta kan sebuah kebutuhan. Bagaimana reaksi-reaksi kimia di dalam tubuhmu memproduksi zat-zat menyenangkan dan menenangkan. Senatural itu," jawabnya.
"Kamu tahu dari mana, mantan-mantanku itu?"
"Aku bilang, aku tertarik padamu. Sangat mudah mencari informasi tentangmu di kampus ini. Banyak yang mengenalmu ternyata,"
"Kamu menakutkan, Theo," ucapku tanpa bisa menyembunyikan senyumku. Dia menarik. Jujur, ceroboh, terbuka, dan biseksual. Kata terakhir itu yang masih tidak bisa aku definisikan.
Theo mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas, mengambilnya satu dan menawariku. Aku pun mengambilnya. Dia nyalakan kemudian dihisapnya dalam. Kemudian aku pun. Kami sama-sama terdiam, memandang langit yang mulai menggelap. Menyebulkan asap di udara. Mengisap gulungan tembakau itu lagi, berulang kali. Seperti sudah terlalu lama pusing memikirkan banyak hal.
"Orang tuamu tahu, kamu...biseks?" tanyaku tiba-tiba.
Dia tersenyum, kemudian mulai menerawang lagi.
"Sama seperti kehidupan banyak orang yang memiliki orientasi seksual yang dianggap berbeda. Orang tuaku menganggapku tidak serius pada awalnya. Namun, mereka lebih demokratis. Ya, walaupun aku harus memperdebatkan banyak hal dengan mereka. Tapi lagi-lagi beruntungnya aku. Ibu dan Ayahku cukup paham bahwa banyak hal yang berada di luar kendali kita," jawabnya sambil kembali menghisap rokoknya. Lampu-lampu temaram sudah mulai dinyalakan, tetapi kami berdua masih enggan berpindah dari tempat itu. Aku memandanginya, dia balas memandangku. Kami terdiam, saling mengamati lekuk wajah satu sama lain. Dia kemudian tak bisa menahan tawanya.
"Apa yang kamu cari di mukaku, Gra? Serius sekali?" tanyanya sambil tertawa geli. Aku hanya tersenyum malu. Ah, Tuhan. Mengapa wanita ini mampu memunculkan reaksi berlebihan. Seperti ada ribuan kupu-kupu di dalam perut, memberontak, kemudian terbang menuju jantungku.
"Bagaimana orang tuamu mampu menerima yang terjadi dalam dirimu itu?" tanyaku sambil mengalihkan muka. Mencoba menetralkan suasana.
"Mmmmm, Ibuku Psikolog, sementara ayahku dosen Filsafat. Ibuku tahu, orientasi seksual bukan gangguan kejiwaan, dan ayahku pun bukan tipe orang yang kaku. Kami berdiskusi dan aku menjelaskan panjang lebar mengenai perasaanku. Mulai dari bagaimana aku merasa aku menyukai sahabat perempuanku sendiri seperti menyukai laki-laki dan sebaliknya. Ibuku seperti menangani pasiennya, konseling dan segala macam. Kami melakukannya selama beberapa bulan. Untuk mencapai kesepemahaman bahwa orientasi seksualku memang seperti itu. Hampir setiap sesi, ayahku selalu mengatakan bahwa semua pilihan ada padaku. Mereka menghargaiku layaknya manusia, namun banyak konsekuensi yang harus siap kami tanggung bersama nantinya. Nama baik serta banyak hal, termasuk ketika nantinya aku benar-benar tidak bisa berumah tangga dengan siapa-siapa. Hahaha," jelasnya panjang lebar. Aku takjub. Bagaimana sebuah keluarga mampu berdiskusi mengenai masalah seperti itu. Masalah yang bagi kebanyakan orang tua merupakan aib dan kesalahan.
"Gra, sekarang boleh gantian aku yang bertanya?" tanyanya.
Aku mengangguk mempersilakan sambil menatap wajahnya. Lampu-lampu temaram yang dinyalakan tadi telah berpindah ke wajah cantiknya. Theo menengadahkan wajah ke langit. Pandangannya jauh, seolah terbang menembus batas-batas cakrawala.
"Aku sudah beberapa kali sampaikan, aku tertarik sama kamu. Bahkan sejak kamu tidak sadari keberadaanku.....," katanya mengawang.
Otakku berkabut. Ada perasaan yang janggal tanpa bisa kuterka. Perasaan-perasaan geli yang aneh. Seperti tengah dibidik dari kejauhan dan mati. Aku belum pernah merasakan situasi ini. Aneh sekali.
"Sepertinya aku suka kamu," ucapnya mendadak. Kata-kata Theo layaknya panah. Melesat tanpa sempat kutangkis sebelumnya. Menembus persis di tengah dadaku. Tapi yang merasa ngilu perutku. Ada sesuatu yang tidak terjelaskan, akan tetapi tergambarkan pada ekspresi wajahku.
Theo yang sebelumnya berbicara serius dan menatapku, kemudian tergelak. Sementara aku terus melongo, seperti baru saja kena sergap.
"Kamu kenapa, Gra? Kenapa pucat? Seperti baru lihat hantu saja," ucap Theo sambil terus tertawa.
Aku kemudian tersadar dan membuang napas yang sempat kutahan saking kagetnya. Aku tidak tahu momen apa barusan. Setelah serangan fakta bertubi-tubi yang disampaikan Theo, dia mendadak berkata menyukaiku. Bahkan aku benar-benar merasa sudah salah dengar. Mungkin, aku memang salah dengar.
"Astaga, Theo. Sepertinya aku salah dengar. Atau salah paham. Mungkin aku kurang fokus barusan. Sorry!" ucapku begitu polosnya. Sambil mencoba release otot-ototku yang kaku. Sepanjang hidup, baru kali ini aku terjebak dalam momen aneh yang tidak dapat didefinisikan. Mendengar seorang perempuan biseksual menyatakan cinta. Padaku!
"Sigra, aku serius dan kamu tidak salah dengar. Aku suka kamu. Mungkin kamu merasa ini aneh. Tapi aku memang suka kamu. Seperti manusia normal lainnya. Aku perempuan normal dan aku manusia. Kamu ganteng dan menarik. Jadi wajar kalau aku suka sama kamu," ucapnya tanpa jeda.
Seperti terkena tembakan di titik yang sama tanpa aba-aba. Aku masih kaget dan tidak menduga. Tidak ada momen romantis, tidak ada persiapan yang direncanakan. Pernyataan suka Theo cukup casual dan apa adanya. Dia sangat-sangat berani dan berbeda.
"The, a....aku... Aku tidak tahu kamu benar-benar suka aku atau ini hanya sebuah perasaan yang kamu salah artikan. Tetapi aku juga tertarik denganmu. Hanya saja mengenai orientasi seksualmu itu aku masih sedikit bingung," jawabku dengan sedikit terbata dan cukup berhati-hati. Bisa saja ucapanku kali ini menjadi belati.
Di luar dugaan, Theo tersenyum manis. Ada sesuatu di wajahnya yang kini makin kupahami. Ketenangan yang luar biasa dalam. Wajahnya cukup damai dengan garis-garis yang indah. Entah mengapa dari pengakuan-pengakuan yang beberapa hari ini kudengar, Theo tidak pernah menjelma menjadi monster. Theo bahkan semakin cemerlang. Cantik dengan versinya sendiri.
"Gra, kupikir perasaan suka itu tidak punya orientasi seksual. Aku biseksual, tetapi kalau aku memiliki hubungan romantis dengan satu laki-laki, bukan berarti aku akan berselingkuh dengan perempuan lain pada waktu yang sama. Biseksual itu bukan berarti bajingan tukang selingkuh, Gra. Hahaha. Aku tertarik denganmu, bukan berarti kita harus berpacaran dan melakukan hubungan seksual. Kamu cukup menarik buatku. Tapi kalau kamu tertarik dengan hubungan romantis yang lebih serius, aku cukup terbuka untuk membicarakannya," jelas Theo dengan santai.
Mendengar seorang perempuan berkata sangat santai tentang perasaannya membuatku cukup takjub dan tidak bisa berkata-kata. Benar katanya, lelaki sebagai makhluk yang dilekati dengan citra 'pemburu' mungkin cukup kaget apabila dihadapkan dengan situasi 'diburu'. Theo mendobrak seluruh batasan. Sangat menarik.
"Jadi, jika kamu tidak percaya dengan hubungan pacaran. Maumu kita apa?" tanyaku. Sungguh sangat kolot. Seperti hidup beberapa puluh tahun lalu.
Tawa Theo meledak. Sudah kuduga, memang pertanyaan mendadakku menggelikan. Aku hanya tak ingin kehilangan momen itu. Namun sepertinya otakku juga tidak siap dengan apa yang harus dikatakan.
"Gra, kamu kolot sekali. Sebut saja ini hubungan kasual. Kita tidak pacaran, biarkan saja ketertarikan ini menemukan jalannya. Kamu sangat menarik buatku. Seluruh hal tentangmu. Tetapi kalau menurutmu hubungan romantis antara dua anak manusia hanya sebatas pacaran. Sepertinya kita memang tidak searah," ucapnya. Ada harga diriku yang kemudian tergores. Mungkin memang kami tidak benar-benar searah dalam hal hubungan romantis. Aku terlalu tradisional bagi Theo yang telah melesat jauh ke depan.
"Gra, ini sudah cukup malam untuk kita terus duduk di sini. Sepertinya kita sudah cukup banyak mendonorkan darah kepada nyamuk-nyamuk yang sedari tadi singgah. Inti obrolan sore ini adalah kamu hanya perlu tahu, kamu cukup menarik untukku. Terkait apa mauku, aku tidak mau apa-apa darimu. Memperhatikanmu diam-diam seperti biasanya. Melihatmu serius dan berambisi dengan banyak hal di kelas. Melihat kamu tertawa dan berkelakar dengan teman-temanmu. Itu cukup membuatku senang. Aku bukan stalker, tapi apabila kita bersinggungan, aku suka memperhatikan setiap gerakmu. Begitu saja. Aku duluan ya, Gra. Temanku sudah datang," ucapnya sambil berdiri. Aku baru ingat, ternyata kami sudah dua jam di sini. Theo sepertinya berbohong ketika mengatakan menunggu temannya. Aku tidak melihat siluet siapapun di depan kami.
"Aku antarkan kamu pulang ke kontrakanmu, The. Jangan menolak kali ini, aku cuma ingin lebih mengenalmu," ucapku yakin. Meskipun kami tidak searah dalam hal hubungan romantis saat ini. Siapa yang tahu ke depannya?
Theo kemudian mengangkat bahunya, berpasrah. Dia tersenyum simpul. Kami pun berjalan santai melintasi taman kampus yang mulai semakin sepi. Theo mulai melingkarkan tangannya di lenganku dengan santai tanpa malu dan canggung. Detak jantungku mulai kembali kacau, tapi aku mencoba terus bersikap biasa saja. Mungkin inilah yang dimaksud Theo sebagai hubungan kasual. Sentuhan-sentuhan fisik, tanpa melibatkan emosi berlebihan. Menyadari bahwa kami berhak menolak maupun menerima tanpa perasaan sakit dan drama.
"Theo, kalau yang kamu tidak ingin terikat hubungan romantis apapun, tetapi kamu tetap tidak membatasi kontak fisik kita, bagaimana aku bisa menahan perasaan dan hal-hal di luar kendaliku sebagai lelaki yang memiliki nafsu?" tanyaku.
Theo tetap melingkarkan tangan bahkan kepalanya kini bersandar di lenganku. Tinggi Theo hanya sebatas pundakku saja, seperti bocah yang menggelayut manja. Dia mendongak, memandangku.
"Tubuhmu ada dalam kendali otakmu, aku yakin kamu bisa mengendalikannya. Kamu bukan hewan, Gra. Terkait apabila kita ingin melakukan kontak fisik yang lebih daripada ini, kita bisa membicarakannya. Aku yakin kita manusia dewasa yang telah memiliki otoritas atas tubuh kita. Jadi apabila ada yang perlu kamu bicarakan, kita tetap bisa berbicara," ucapnya sambil memandangku. Matanya berbinar. Indah. Penuh magis. Menggoda pada batasannya. Perempuan yang tadinya kukenal sebatas teman duduk di kelas, telah menjelma menjadi perempuan lainnya. Berani, menakutkan, menarik, di luar kendali, dan tidak dapat ditebak.
Komentar
Posting Komentar