Sebuah Pengantar

Selamat apa saja di waktu kalian membaca.
Sudah lama sekali setalah postingan terakhir di blog ini. Sepertinya semua sudah banyak berubah. Namun hidup dalam kenangan merupakan keahlianku.
Tulisan ini tercipta setelah hari ini, Selasa 05 Mei 2020 sebuah peristiwa yang terus menyakitkan di tiap bulan pada awal 2020 terulang. Sementara itu kenangan tentangnya yang cukup gelap di masa remajaku, membuncah. Kenangan tentang sakit dan kehilangan.

Sebuah Pengantar

Pagi tadi, berita cepat sekali tersebar sebelum aku benar-benar mampu mencerna hari.
Sebuah berita yang lagi-lagi membuat hati berkata "Mengapa waktu begitu cepat namun juga lambat". Didi Kempot, penyanyi keroncong dangdut kenamaan, meninggal dunia. Aku bukan fans garis kerasnya, namun semua orang tahu bahwa kami memiliki kenangan masing-masing atas setiap lagunya.

Meluncur beberapa belas tahun lalu, ketika masih sedang lucu-lucunya sebagai seorang bocah. Kegiatanku hanyalah bermain dan mengunjungi rumah tetangga. Untuk sekadar mampir dan menyeruput kopi Mbah Daris, seorang pensiunan tentara samping rumah. Sebuah hal yang lumrah, bagi bocah kampung untuk main ke rumah tetangganya, begitupun aku. Bocah kecil ini berjoget dan mereka semua senang menonton sembari tertawa bersama. Hitam, gempal, dan berpipi cubby. Penyuka lagu campursari dan kopi tetangga. Bocah kecil yang tua.

Lagu yang selalu didendangkan kala itu adalah 'Kuncung', 'Sekonyong-konyong Koder', dan beberapa lagu lawas lainnya. Kemudian aku tumbuh menjadi remaja dengan diiringi lagu 'Sewu Kutho', 'Stasiun Balapan', 'Prau Layar', 'Tanjung Perak', 'Gethuk', 'Yen Ing Tawang'. Adapula 'Cucak Rowo', 'Ojo Dipleroki', 'Bojo Loro', 'Jambu Alas', 'Layang Kangen', 'Tanjung Mas Ninggal Janji', 'Pokoke Melu', 'Terminal Tirtonadi', dan banyak lagi lagu familier lainnya.

Tibalah diperjalanan terberat saat masa remaja. Gempuran musik pop tengah merajai kehidupanku dan remaja lainnya. Lagu-lagu patah hati versi lain, hilir mudik keluar masuk kuping. Menjadi cerita-cerita sedih lain a la remaja. Lagu Didi Kempot menjadi lagu yang begitu wagu bagi para remaja seumuranku. Mencoba menampik lagu-lagu berbahasa Jawa dan beralih menjadi generasi yang berupaya menjadi edgy pada masanya.

Tahun 2010, di tengah patah hati yang begitu gelap bagi keluarga kami, Ayah setiap pagi mendendangkan sebuah lagu yang saya tidak tahu sebelumnya. 'Cidro' mengalun setiap pagi, setiap saat. Menemani sakit yang luar biasa di dada ayah. Sementara aku hanya terduduk di teras, mendengarkan setiap baitnya. Menerka bagian mana dari lagu itu yang menggambarkan ia. Biar aku juga mampu mencerna bahwa sakit tidak hanya anak-anaknya yang rasa.

Patah hati terhebat dan paling menghancurkan tengah ia ceritakan melalui lagu yang selalu diputar berulang. Setiap hari, setiap pagi, aku mendengar 'Cidro' berkali-kali. Seolah kesakitannya tiada henti. Hingga pada akhirnya, aku tahu itu lagu keramat untuk ingatanku. Begitu agung, sebab ayah membuatnya menjadi teman. Secara tidak sadar, aku telah memiliki tempat paling tersembunyi. Tak bisa tersentuh. Bagaimana lagu itu membuatku marah sekaligus sayang, karena ayah hanya mampu bersedih lewat lagu yang begitu perih. Kemudian aku merasa kalah, sebab selalu ikut menangis diam-diam karena 'Cidro'-nya Ayah di teras. Tanpa bisa menemaninya, seperti yang seharusnya kulakukan.

Sebaliknya, ibu yang senang bernyanyi mengenalkanku banyak lagu. 'Kere Munggah Bale', 'Perawan Kalimantan', dan beberapa lagu menyakitkan lainnya mengiringi masa remajaku yang campur aduk. Memberikanku rasa muak atas setiap lagu patah hati. "Mengapa lagu-lagu itu mengandung rasa sakit dan depresi yang menyesakkan? Mengapa patah hati bisa semenakutkan itu". Melihat bagaimana Ayahku yang sebelumnya lebih memilih lagu-lagu religi sebagai penghiburnya, tiba-tiba menjadikan lagu Didi Kempot sebagai obat lara adalah hal yang membuatku terus mengingatnya. Menjadi begitu dekat dengan lagunya.

Beberapa tahun kemudian, setelah ayahku berpulang, lagu 'Suket Teki' dan 'Banyu Langit' menggaung di bis-bis, kos-kos sederhana, terminal-terminal, lapak-lapak lapuk. Hidup dengan kesederhanaan yang 'seketika' semenjak ayahku meninggal, aku mulai akrab dengan bis omprengan setiap pulang ke rumah dari perantauan. Bermula dari sanalah aku kembali diingatkan mengenai 'tanah'.

Musik-musik Didi Kempot mengajakku untuk kembali mengenang masa kecilku. Berasal dari masyarakat kelas bawah, dengan kehidupan yang begitu realistis. Patah hati yang setiap saat dapat menyergap, membuat semakin tabah, dan kembali berdiri.

Musiknya hidup dari akar, kemudian berkembang, dan dicintai oleh setiap hati yang mendengar. Fakta bahwa nama Didi Kempot lebih harum di Suriname dan negara lain, kini seolah ditentang. Namanya selalu harum di hati setiap pendengar di tanah airnya.

Setelah kesuksesan yang kembali dan terus menerus ia dulang, lagu-lagu kembali menggema di mana-mana. 'Banyu Langit', 'Dalan Anyar', 'Pantai Klayar', 'Kalung Emas', 'Pamer Bojo', 'Cidro', dan banyak lainnya menjadi anthem bagi muda-mudi yang hatinya tengah luka. Didi Kempot dan fenomenanya telah mendobrak zaman, menggeser trend. Membuktikan ia tidak pernah padam menyuarakan rasa sakit bagi setiap yang terluka.

Luka-luka itu kemudian selalu membuka kotak di pojok hatiku mengenai 'Cidro'. Ia selalu hidup dalam kenangan menyakitkan nan dramatis. Mengingatkanku bagaimana menangis di antara nyanyian ayahku sendiri. Menjadi bagian penting bagaimana aku paham bahwa lara tidak hanya dapat dirasakan dan boleh diekspresikan oleh perempuan saja. Ayahku, membuktikannya. Didi Kempot memberi jembatan atasnya.

Tanpa sadar, musik-musiknya telah menemani setiap hal yang terjadi. Lebih dekat, lebih lekat dari yang kusadari. Seperti ia diciptakan oleh nenekku sendiri, oleh masyarakatku sendiri. Bagaimana kenangan manis ketika 'Kuncung' dinyanyikan oleh nenekku sebagai kudangan sesaat setelah memandikanku, cerianya 'Sekonyong Koder' ketika Tegar kecil 'ditanggap' tetangga untuk berjoget dengan gembira. Sendunya 'Sewu Kutho' dan 'Stasiun Balapan' ketika beranjak remaja, dan petuah 'Ojo Lamis' menemani seorang guru yang sudah sangat sepuh mengajari kami di dalam kelas. Lagu wajib yang kemudian membuatku merasa bahasa Jawa adalah bahasa yang begitu indah. Semua mengalir saja di kehidupanku, secara tidak sadar.

Lalu, Agustus 2019, ketika fase patah hati yang lainnya dalam hidupku kembali terjadi. Setelah bertahun-tahun mencoba menemukan keyakinan untuk terus bersama. Namun ternyata hatiku berkata ada yang salah. Patahlah hatiku sepatahnya. Pada saat yang sama Didi Kempot telah menyandang The Lord of Brokenheart, Bapak Patah Hati Nasional, namanya selalu merajai media sosial dan televisi swasta, menggelar konser di mana-mana. Ia datang menyambangi Semarang. Muda-mudi lara, bahagia.

Dengan rasa penasaran yang ingin dituntaskan, aku mengajak seorang kawan. Rasanya ingin mengarungi patah hati di tempat yang mendendangkan patah hati juga. Sesampainya di sana, ribuan orang berkumpul. Melebihi ekspektasiku. Terjebaklah kami di kerumunan orang, akan tetapi ketika 'Banyu Langit' dinyanyikan, aku menikmati keramaian. Rasa lara yang kusimpan sebelumnya, tumpah bersama 'laras' yang mengalun perih malam itu.

Didi Kempot kembali mengiris luka dengan sayatan yang indah. Sebab tidak hanya 'Cidro' yang ternyata mengacaukan kenanganku. Akan tetapi lagu-lagu lainnya menyakitiku dengan begitu magis. Setiap patah hati diiris kemudian ditangisi, dan dibenci. Begitu lah seharusnya menjadi patah hati. Ditangisi untuk dibenci. Menjadi peledak agar tetap terus berjalan. Begitu lah sedari dulu 'Cidro' membuat ayahku bertahan. Untuk dinyanyikan, ditangisi, kemudian dikenang. Sebagai media bercerita dan garam yang ditaburkan di atas luka. Membuat kita paham sakit kemudian kebal, kebas, lunas. Bahwa sakit adalah kehidupan. Maka teruslah hidup, begitulah yang pernah Didi Kempot sampaikan pada 'Ngobam'-nya Gofar Hilman. Teruslah hidup. Teruslah hidup. Teruslah hidup.

Maka teruslah hidup, pada setiap yang lara dan mencari media untuk menyudahinya, Didi Kempot. Engkau abadi, bersama setiap ingatan dan kenangan. Manusia menciptakan budaya, kemudian budaya mengingatkan manusia. Begitulah Didi Kempot menjelma menjadi budaya itu sendiri, menjadi masyarakatnya sendiri. Begitulah Didi Kempot hidup di dalam tiap nyanyian nenekku, tetanggaku. Begitulah Didi Kempot membaur pada senandung tiap sopir maupun kernet. Ia telah menjelma pada setiap ingatan manusia yang menyanyikannya. Pada masyarakatnya.


Selamat Jalan, Didi Kempot. Terima Kasih telah membuat seorang anak bisa begitu dekat dengan ayahnya, hanya dengan mencuri dengar sebuah lagu patah hati di depan teras. Turut menangis, menggigit jari, mencerna lirik, dan ikut merasakan pedih pun hampa bagi hati pendengarnya. 'Cidro'-mu terus hidup bersama kenanganku tentang Ayahku. Maka 'Banyu Langit' dan seluruh-'mu' hidup di tiap kenangan kami. Sampai Jumpa. Kami selalu berpatah hati dan hidup lagi.

Komentar

  1. Dalem juga yak kenangan andah dgn lagu2 Lord Didi... Ga nyangka andahh sudah akrab dgn Padhe Didi sejak blm baligh 😁...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer