Kisah Lain dari Taman Siswa

Entah berapa puluh hari dari pertama kali ku baca tentangku. Nama-nama hari tak pernah berubah. Hanya angka tanggalnya saja yang mengulang. Dan entah kita masih sama atau mengikuti masa. Katanya, perubahan itu kepastian. Yang tak berubah maka tak berjalan. Yang tak berganti maka tak memperbaiki. Tapi apa kita tetap memegang kendali?


Kita tahu semua tak mudah. Tentang tembok yang kita coba runtuhkan pelan-pelan. Sebelumnya kau memberiku petunjuk arah. Kita berjanji bertemu pada akhir tembok megah. Kita akan dewasa. Mandiri pada cerita yang entah.
Berpegang bekal percaya. Kuikuti kemana telinga mendengar langkahmu dari seberang. Tanganku meraba, berharap getar tubuhmu terasa. Namun, ia samar. Hanya sesekali hangat, kemudian hilang.

Rindu. Ia sisa dari janji pertemuan. Kurengkuh ia, sampai pedih tubuhnya. Kadang ku bunuhi ia biar tak tercium ke seberang. Kadang, aku yang kejang.
Tembok itu tinggi dan panjang. Aku membenci waktu yang berjalan cepat namun lambat. Aku membenci jarak meski itu sangat dekat.

Tentangmu ialah renjana. Candu manis dan gula-gula. Kadang asam dan pahit. Kau bukan es krim pada malamku yang dingin. Kau bukan cemilan yang kunikmati dalam diam. Kau hidangan utama pada menu makan malamku. Mengenyangkan. Ditunggu. Bukan selingan.

Tentangmu yang berada di seberang. Aku berjalan menuju akhir dari janji pertemuan. Jangan berhenti berjalan meski kita tak berhadapan. Jangan bosan menuntun meski aku sering terjatuh. Aku berjalan, bahkan berlari jika mampu. Aku akan payah, namun jangan menyerah. Tetap lah di sana, sampai waktu makan dan janji pertemuan tiba.





Taman Siswa. 17 May 2015. Selepas isya di Yogyakarta.

Komentar

Postingan Populer