Surel dari Masa Lalu

Taman Siswa, 19 Desember 2015.

Salah satu malam yang cukup berat untuk masa dewasa muda saya. Tidak bisa disepelekan juga, karena saat itu saya melaluinya dengan susah payah. Terimakasih sudah cukup jujur atas setiap perasaanmu, Gar. Rasanya saya patut mengapresiasinya. Dini hari itu, saya mengirimkan sebuah surel ke seseorang yang begitu istimewa bagi saya. Saya salin di sini, sebagai sebuah pengingat. Tentu saja kepala surat yang berisi namanya sudah saya hapus. Sebab dia telah menemukan seseorang yang pantas bersamanya saat ini. Tanpa ketakutan dan alasan. Tidak seperti saya sebelumnya. Tentu sangat tidak sopan jika mencantumkan namanya pada postingan ini.

Pukul 01.09

Dear......

Saya rasa kamu akan sedikit sakit membaca ini. Saya pun.
Malam ini sedang hujan di luar sana. Dan beberapa hari ini, saya merasa tidak hanya kamu yang tidak berada di dekat saya. Hatimu pun pikiranmu. Boleh kalau kamu mau menyanggah atau menjelaskan. Mengiyakan atau menanggapi dengan caramu. Atau kamu sudah mulai bosan. Benar katamu, saya pengeluh. Saya selalu meminta berbagai macam hal. Saya selalu tidak mau kalah. Saya seperti yang kamu sering ucapkan. Saya tidak marah, saya menyadari itu. Benar-benar dengan kesadaran penuh. Sungguh, saya tidak marah.

Malam ini, kepala saya begitu sakit. Migrain saya kambuh. Entah. Beberapa minggu ini, asal kamu tahu saya menanggung banyak sekali pikiran.

Saya perlu katakan, bukan cuma kamu yang berpikir banyak. Saya pun. Walaupun porsi pikiran kita beda. Pun kualitasnya, mungkin.
Beberapa minggu ini saya merasa menjadi sampah. Tapi kamu tidak tahu, bukan? Iya. Saya mengganggu jalanmu, pun organisasi ini. Saya bukan kader dan pengurus yang baik. Saya tidak punya tujuan. Saya tidak punya perkiraan ke depan. Saya hanya merasa menjadi orang yang gagal. Tidak becus dalam keadaan apapun.

Saya merasa bersalah kepadamu, kepada setiap orang yang memercayai saya. Saya merasa menjadi orang yang tidak berguna. Hanya parasit. Bermuka dua.
Lalu, saya tak punya teman berbicara. Tidak juga denganmu. Saya hanya tidak mau menambah berat pikiranmu dengan hal omong kosong atas diri saya sendiri.

Saya pun tidak mau berbagi bersama orang lain. Apa yang perlu dibagi dari cerita tak jelas intinya seperti ini. Saya hanya butuh teman yang menguatkan saya. Keputusan saya. Tindakan saya. Tetapi keadaan sepertinya memang tidak berpihak. Saya hanya memendam perasaan itu dalam-dalam.

Beberapa malam sebelum ini, saya merasa saya membebanimu. Saya menghalangi langkahmu. Kamu tak bisa bebas bermain, berkarya, menjadi kamu yang memang kamu. Saya lama-lama menjadi penjara untukmu. Saya tidak membiarkanmu berkembang. Menata hidupmu. Padahal saya tahu, kita sama-sama subjek untuk diri kita. Saya tidak berhak memperlakukanmu sebagai barang milik saya. Tetapi, semakin lama, saya merasa bahwa memang saya tak pernah mampu mengendalikan diri. Saya ingin kamu berada di samping saya. Setidaknya pikiran dan hatimu ada untuk saya.

Entah perasaan saya atau memang benar adanya. Saya mulai merasa kamu sibuk dengan perkembanganmu. Sementara saya sibuk mencari sosok kamu. Iya. Saya kekanak-kanakan. Tapi obrolan kita, apakah ia bisa selalu mengurai permasalahan saya? Saya bermasalah. Tapi saya pun tidak tahu masalah saya. Mungkin masalah kejiwaan? Hahaha. Sudahlah. Ini sudah jam 1, kalau kamu belum pulang, hati-hati di jalan. Saya mendoakanmu. Sukses. Jaga kesehatanmu. Saya tidak mampu membantu. Banyak yang saya tidak mampu imbangi darimu. Maka, berjalanlah. Jangan terlalu cepat. Jangan terlalu jauh. Saya takut tidak mampu melihatmu. Tapi jika kamu merasa saya hanya membebani, maka berlari saja. Nanti saya yang kumpulkan jejakmu. Saya yang akan memungutinya satu demi satu. Nanti ketika kamu sudah mulai puas berlari, saya kembalikan jejak yang kamu tinggalkan.
Jaga kesehatanmu ya, sayang. Malam ini hujannya tidak berhenti-henti.
Maaf pula jika nanti kamu membaca tulisan ini, kamu hanya akan menemukan diri saya yang kerdil dan tidak waras. Mungkin saya benar mengidap kejiwaan. Selamat malam. Aku mengasihimu.


Tidak seperti biasanya, dia membalas surel saya. Sepertinya dia sedang sama-sama gusar malam itu.

Pukul 03.06

Perasaanmu kurasai juga. Aku membatu. Aku seolah jauh pergi tinggi menjulang. Padahal sebenarnya tidak. Aku tak kemana mana. Akulah yang bermuka dua. Akulah yang bertinggi-tinggi. Aku. Jangan pernah kamu salahkan dirimu didepanku. Karna sungguh perih. 4-5 hari ini tidurku tak pernah banyak. Padahal 'disana' aku tak berbuat apa-apa. Hanya Kecemasan yang menguasai, kukira. Basi ! Kau tau aku. Terlebih disini, kau bisa rasai sendiri sajalah.
Apalah yang kau tau tentangku, tidak semuanya demikian. Kadang juga aku bertingkah kekanakan. "Pokokmen, ngono kae, argumentasi argumentasi semu"...bukankah konyol untuk seumuranku? Pimred?
Saking malunya sampai sampai tak terasa lagi. Hingga penawaran 'disana' pun kupilih, tanpa sepengehetahuanmu. Tanpa melibatkan mu. Ambisius kukira. Basi lagi !

Kamu adalah orang paling sabar yang bisa mengemong bayi besar tua ini. Tetaplah menjadi penyabar gar. Diawal, kuyakinkan diriku. Terus menerus. Hingga menebal dan tak bisa lagi tertembuskan. Karena kuyakin.

Isi kepalaku tak ada. Hanya tidur. Pemalas. Tipikal kritikus. Susah bergaul. Kadar ginjal dan paru2 yang tak lagi normal. Keimananan alternatif. Dan sok-sok an mungkin penyakitku baru baru ini.
Kurang penyabar apa kau ini?

Jujur saja. Aku malu menuliskan ini. Entah nanti kau baca atau tidak. Namun ini kali pertama aku merespon surelmu.
Aku malu. Aku merasa tak pantas. Sungguh!
Malam ini ku membacanya, dengan kepala tertunduk serendah rendahnya burung unta ketakutan.

Maafkan, aku bukan seperti yang kmu idam idamkan. Cita-citakan. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Maafkan. Tegur aku dengan cara apapun. Pukul aku, hina aku. Jangan takut kepadaku. Karna mungkin sebuah pembelajaran banyak bersembunyi dibalik ketakutanmu kepadaku.

Selamat tidur. Selamat bertugas kembali esok hari. Selamat berakhir pekan. Maafkan. Selamat pagi, mimpi baik!

Aku sayang kamu. Sungguh!


Komentar

Postingan Populer