Mencariku

Aku telah berjalan jauh, kepayahan.
Kupikir, padamu kutemukan tanah lapang,
Berharap bisa akarku bercokol di dalamnya,
Namun di hatimu ku hanya menemukan batuan.
Tertulis namamu, berkali-kali, berbait-bait.
Kucari namaku pada setiap jengkal lahan gersang itu.
Nihil.
Aku tak menemukannya, tak menemukanku.


***

Suatu malam di November, 2016. Malam itu di Magelang hujan turun begitu hebat. Gemuruh menggelegar disertai kilatan petir sesekali. Hujan angin, deras dan dingin. Aku duduk di tepian minimarket, berteduh sebentar sebelum meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Malam itu pukul 19.30, beberapa orang turut berteduh menghindari kuyup di serambi minimarket yang begitu terang. Kami semua sudah kebasahan, namun derasnya angin dan hujan sepertinya tidak memungkinkan untuk terus berada di jalanan.

Di tanganku tergenggam minuman kaleng yang sudah separuhnya kutenggak. Kupandangi langit yang kelam, di depan mataku terpampang jalanan dan sebuah bangunan besar perguruan tinggi Magelang. Di sana lah Mahira, kekasihku, menempuh pendidikan terakhirnya beberapa bulan belakangan. Setelah banyaknya peristiwa yang terjadi pada hidupnya, Mahira memutuskan pulang ke kotanya dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dekat rumah. Sementara aku terus menjalani hariku seperti biasa di Yogyakarta.

Sebelumnya, kami berdua sama-sama menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Kami bertemu sejak aku bergabung dalam sebuah organisasi kemahasiswaan. Mahira merupakan seniorku di kampus dan organisasi itu. Seorang yang penuh tawa namun bisa berubah menjadi pemuda yang dingin setelahnya. Dalam bayanganku, Mahira luar biasa pintar. Semua hal bisa dia kuasai hanya dengan membaca. Sementara aku butuh waktu berlama-lama untuk memahami banyak hal.

Kami beberapa kali terlibat dalam proyek bersama, sepertinya dari sanalah ketertarikan dan keterikatan itu muncul. Dalam diam, kemudian tanpa disadari ranum. Kami saling menyadari satu sama lain, dan di sini lah saat ini aku. Duduk menunggu hujan reda di suatu jalan Kota Magelang menuju Yogyakarta.

Hari itu, aku baru saja berkunjung ke rumah Mahira. Menemui Mahira dan ayah ibunya. Aku sudah mengenal mereka beberapa bulan belakangan, setelah Mahira pulang ke rumah. Dia mengenalkanku sebagai perempuan yang disayanginya. Malu sekaligus lega. Hubungan yang selama ini kami tutupi ternyata ia akui juga.

Setelah kepulangannya, aku dan Mahira sering bergantian saling menemui. Kadang dia mengunjungiku di Yogyakarta, dua minggu kemudian aku mengunjunginya di Magelang. Semua berjalan beberapa bulan ini. Namun, kurasa lebih sering aku merengek dulu untuk bertemu. Ya, usiaku masih 22 tahun dan ayahku baru meninggal beberapa bulan lalu. Sepertinya rasa rinduku bingung harus pulang ke mana.

Mahira acap kali marah mendengar kata rindu keluar dari mulut atau pesan teks ku. Sepertinya, dia merasa dibelenggu. Atau bisa jadi dia mengira rinduku terlalu murah dan hanya gombalan semata. Padahal, aku hanya butuh teman. Kesepian dan kehilangan ini telah 'memakanku'.

"Yang, kamu sampai mana? Hujannya deres banget," sebuah pesan teks memecah lamunanku. Mahira baru saja mengirimkan pesan setelah 10 menit yang lalu aku keluar dari halaman rumahnya.

"Iya, yang. Ini baru sampai depan kampusmu. Takut aku, gludug-nya gede pol. Ini aku lagi berhenti di minimarket. Kaca minimarket sampai getar," jawabku sambil menahan dingin. Tanganku sudah sedikit keriput karena setelah beberapa meter dari rumahnya, hujan langsung turun begitu saja. Langsung kukenakan jas hujan dan melaju kembali dengan motor merahku. Kupikir hujan akan berhenti, namun ternyata semakin deras disertai angin dan petir.

"Ini papahku nanya kamu sampai mana, hati-hati di jalan ya. Tunggu sampai reda dulu aja." lanjut Mahira kembali.

Saat itu, kupikir Mahira akan datang. Menemuiku menerobos hujan. Sama seperti aku yang memangkas 'jarak' Yogyakarta-Magelang di tengah terik atau hujan. Namun, mungkin bagi Mahira aku terlalu mendramatisir suasana. Atau memang sebenarnya kami sudah sama-sama berjuang dalam diam.

Hujan masih terus turun, aku tetap berteduh. Ada perasaan yang aneh malam itu. Mengapa ini menyedihkan? Mengapa kunjungan ini selalu menyedihkan? Aku seperti mengayuhnya sendirian.

Pikiranku berkelana ke hari-hari sebelumnya. Seberapa banyak perasaan aneh menyerangku sehabis kami bertemu. Ingatan tentang rasa malu dan insekuritas selalu menyergapku bagai bayang-bayang di tengah malam. Pernah suatu kali, aku datang ke rumah Mahira membawa setangkai bunga matahari yang kubeli dari sahabatku sebagai ucapan selamat atas wisudanya. Muka Mahira memerah, malu katanya. Di rumah itu dua orang sahabat kecil Mahira tengah datang untuk tujuan yang sama. Memberinya ucapan selamat. Bunga itu diserahkan pada Mamahnya untuk dibawa masuk ke dalam rumah, kemudian mereka semua tertawa.

"Tadinya Mamah mau panen kuaci, tapi belum bisa, bunganya satu thok dan cilik menthik. Hahaha," ledek Mamah Mahira disambut dengan tawa semua orang yang mendengar. Aku tersenyum bingung. Rasanya seperti hati yang kubawa dari Yogyakarta, diremas dan dibuang di depan banyak orang. Mahira tidak merespon apapun. Dia hanya menatapku tajam. Bibirnya mengerucut. Aku tahu dia menyalahkanku atas momen memalukan itu.

Pada momen setelahnya, kedua sahabat Mahira meledek kami berdua. Mereka mempertanyakan kedatanganku naik motor ke Magelang sendirian hanya demi menemui Mahira. "Ya enggak apa-apa, Mbak. Kan memang biasanya juga ke sini sih. Hehehe," jawabku canggung. Ini pertemuan pertamaku dengan mereka berdua. Namun kejadian bunga siang tadi telah mengintimidasiku. Aku tidak bisa mencerna momen memalukan tadi. Aku masih mencari di mana letak salahku. Sepanjang percakapan aku hanya tersenyum, sementara Mahira meladeni ledekan mereka berdua. Mungkin lagi-lagi aku yang bersalah karena terlalu sensitif. Tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan pertemanannya.

"Besok kamu enggak usah ke sini lagi lah kalau enggak kujemput. Aku malu dimarahin temenku gara-gara ngebiarin kamu ke sini sendiri," ucap Mahira mengakhiri hari itu, sebelum kulajukan motorku menuju Yogyakarta. Aku hanya tercengang, sedikit bingung. Ini pilihan yang selalu kami ambil untuk saling menemui, dan aku melakukan yang ku suka. Mungkin bagi Mahira, ucapannya hari itu tidak keliru, aku lah yang terus mengingatnya.

Hujan kemudian sedikit mereda, namun hatiku bergemuruh. Ternyata lamunanku telah membawa 'hantu' yang telah bersemayan lama di dada. Jam di telepon genggamku sudah menunjukkan pukul 20.15, sepertinya aku harus segera memacu motorku kembali agar tidak terlalu malam sampai di Yogyakarta. Kupakai lagi jas hujanku, dan menghidupkan motorku. Di antara rintik yang dingin, air mataku meleleh hangat. 'Hantu' ini muncul kembali. Perasaan 'aku yang tidak pernah cukup'. Perasaan-perasaan itu muncul sekelebat, di setiap momen bersama Mahira.

Mahira selalu bilang, aku terlalu overthinking dan dia membenci itu. Aku terlalu sensitif dan mendramatisir suasana. Semakin dewasa, aku paham ternyata tidak hanya hal-hal buruk yang selalu Mahira sampaikan, aku pun memiliki kecenderungan manipulatif dan gaslighting. Aku adalah segala macam hal buruk yang dimiliki oleh manusia. Aku tidak akan pernah cukup.


***

Malam berikutnya di Agustus, 2017. Bersamaan dengan perasaan yang entah apa namanya, hubunganku bersama Mahira telah memupuk gulma. Ia tumbuh subur, menjalar dari titik kecil menjadi hutan. Berkelindan bersama rasa sayang. Sepertinya ia tumbuh pada luka-luka kecil yang kurawat pedihnya. Bukannya sembuh, namun membusuk. Memberikan makanan bagi perasaan negatif itu. Tapi di antara keputusasaan dan perasaan sakit itu, aku terus menggenggamnya. Kupikir itu cinta.

Pada malam itu, Mahira datang ke Yogyakarta menemuiku. Langit gelap namun tidak hujan. Lampu-lampu temaram menghiasi jalanan. "Gimana magang di kantor Pak Suswono?" tanya Mahira sesaat makanan kami dihidangkan. Sepiring nasi goreng kesukaan disajikan dengan acar timun di sampingnya. Begitu menggugah selera.

"Enak, sih. Orangnya baik-baik pula. Ternyata Mas Faizal dan Mas Lukman itu senior kita tahu. Mereka angkatan 2009, temannya Mas Adit," ucapku sambil mengaduk nasi gorengku agar panasnya menguap. Kuseruput es teh, berharap Mahira turut bersuka cita mendengar pengalaman kerjaku pertama kali.

Beberapa hari setelah wisudaku, aku mencari tempat magang untuk menunjang ilmu dan menambah pengalamanku. Setelah kepergian Papahku setahun lalu, rasanya aku tidak pernah menemukan alasan mengapa aku harus bertahan di dunia ini. Semua rasanya buram dan buntu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mencoba semua hal yang ingin kucoba agar tidak mati. Mulai dari kegiatan sosial di awal tahun, mengikuti pendidikan profesi, dan menekuni praktek profesional. Magang di lawfirm bukanlah mimpiku sejak awal, namun merupakan sebuah pintu yang baru untukku. Rasanya seperti menjadi berguna dan kembali hidup.

"Papah tuh enggak percaya kamu jadi pengacara tahu, yang. Hahahha. Kata Papah 'Bocah koyo Rona kok magang dadi pengacara. Ra cocok blas. Opo iso?'" tiru Mahira sambil tertawa dan mengaduk bakmi jawa miliknya. Kembali, hatiku patah. Rasanya ada yang aneh. Perasaan ngilu yang tidak ada bentuknya. Aku tidak tahu pusatnya berada di mana, kadang ngilunya ada di dada, kadang pula ada di ujung tenggorokanku. Seperti ada sesuatu yang perlu dikeluarkan. Entah apa.

"Memangnya kenapa enggak cocok, yang?" sahutku sambil menyeruput sedikit demi sedikit es teh. Mencoba mencari apa yang salah dari pilihanku.

"Kata Papah, kamu terlalu haha-hehe untuk jadi advokat. Hahahahha,"

"Lah, aku ya enggak mungkin haha-hehe pas sama klien to, Mas," ungkapku kesal. Mahira cuma tertawa sambil meneruskan makannya. Ini salah satu dari candaan yang entah kenapa membuatku merasa tidak nyaman. Aku merasa terlalu kecil di hadapan mereka. Inferior. Menjadi tidak pernah tepat.

Setelah makan malam yang canggung dan aneh hari itu, kami berkeliling di seputaran Seturan. Kami mengunjungi sebuah warung kopi langganan. Di sana pertama kali akhirnya kami saling mengungkapkan perasaan. Sebuah tempat dengan konsep lesehan dan minuman serta jajanan sederhana murah meriah, Rendja Kopi.

Di pojok kanan dari pintu masuk terdapat sebuah pohon besar rindang. Kalau siang hari, ia dapat melindungi kita dari matahari. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat ruang pemesanan dengan beberapa pegawai yang siaga. Semakin masuk, maka akan dijumpai tanah lapang dengan beberapa pohon nangka yang kadang sudah berbuah.

Kala itu, Rendja Kopi masih terbagi menjadi dua bagian. Bagian utama merupakan bangunan setengah jadi dengan konsep lesehan yang dipisah-pisahkan tembok setinggi sekitar 50cm untuk setiap kotaknya. Kotak-kotak itu bisa diisi hampir 10 orang untuk duduk dan menikmati sajian yang mereka pesan. Ruang pemesanan berada pada bagian utamanya. Sementara bagian lainnya merupakan ruang terbuka dikelilingi oleh pepohonan dan lampu temaram. Bangku-bangku tamu dibuat melingkar beberapa titik dan lampu-lampu temaram saling melintang di antara pepohonan.

Rendja Kopi selalu ramai pembeli 24 jam, sehingga suasana gelap yang temaram itu tidak pernah terasa menakutkan. Asap rokok mengepul dari segala penjuru. Obrolan demi obrolan saling bersautan menciptakan riuh. Topik marxisme bercampur dengan gosip selebriti tadi pagi saling bergandengan keluar masuk gendang telinga. Menari-nari kecil di udara Yogyakarta yang semakin panas dengan setiap rokok yang dinyalakan. Mahira dan aku pernah saling membahas puisi satu sama lain di salah satu kotak. Mengulik setiap diksi dan maksudnya. Tertawa-tawa kecil dengan mata yang saling berbinar, merasakan gelombang yang sama. Di tempat itulah pertama kalinya kami saling mencoba jujur pada geli-geli di perut yang terus membuncah tiap hari. Membahasnya, menyadarinya sampai adzan subuh berkumandang. Kami menghabiskan semalaman demi membaca perasaan.

Malam itu, kami kembali ke sana. Bedanya, riuh obrolan para mahasiswa yang ceria tidak lagi membuat kami berdua turut muda. Mahira yang saat itu ketemui bukan lagi mahasiswa yang penuh puisi. Entah apa yang membuatnya tidak lagi menulis tentang aku. Mungkin baginya, aku telah menjadi biasa saja. Menjadi miliknya.

"Eh yang, aku ke toilet sebentar ya. Nitip handphone sama tas," ucap Mahira setelah kami duduk di sebuah kotak lesehan terdekat. Aku mengangguk, handphone dan tas diserahkan padaku. Sambil sesekali aku menatap ke beberapa arah, mengamati orang-orang yang asyik bercengkerama, aku teringat satu hal. Tahun lalu, aku tidak sengaja melihat pesan teks Mahira dengan perempuan-perempuan lainnya menggunakan aplikasi pesan yang membaca jarak keduanya. Semakin dekat jaraknya, maka semakin mudah terkoneksi. Ya, Mahira sempat menggunakan people nearby di beberapa aplikasi pesan teks. Kala itu, Mahira tengah tertidur namun handphone-nya terus bergetar. Kupikir panggilan telepon dari temannya, ketika ku lihat beberapa pesan untuk saling bertemu dari Mahira disambut baik oleh perempuan. Tidak hanya satu, namun banyak perempuan. Air mataku meleleh, tanganku gemetar. Mahira terbangun dan menyadari bahwa aku mengetahui semuanya. Dia meminta maaf dan merasa bersalah. Dia berjanji tidak mengulanginya kembali. Aku berhenti menangis, namun ada yang telah berubah. Jauh, amat sangat jauh sampai aku tidak pernah menyadari sebelumnya.

Ada perasaan yang aneh juga malam itu, aku berjanji untuk tidak pernah membuka handphone Mahira setelah kejadian tahun lalu. Namun malam itu tanganku terus membuka-buka setiap foldernya perlahan, sampai di suatu saat aku menarik layarnya ke bawah. Tampilan layar berputar sesaat, memproses sesuatu, kemudian muncul semua aplikasi pesan teks yang disembunyikan. Ternyata Mahira kembali berbohong padaku. Ku buka satu persatu kembali pesan teks yang dia kirimkan ke nama-nama perempuan yang terpampang. Ajakan bertemu, saling puji memuji, saling menggoda, dan berbagai candaan lainnya. Ada rasa yang sakitnya melebihi perasaan pertama kali ku baca pesan serupa tahun lalu. Seperti luka yang mengoreng, kemudian tergores lagi. Tanganku bergetar, napasku memburu. Semakin dalam yang kubaca, semakin banyak pula air mata yang meleleh. Aku tidak hanya marah, namun ada sesuatu yang telah hilang dari tempatnya dan digantikan oleh perasaan lain yang tidak seharusnya ada.

Mahira kembali dari toilet dan sedikit kaget melihatku dengan muka memerah. Dia sedikit berlari kecil dengan wajah yang khawatir. Diraihnya handphone dari tanganku, dan matanya langsung melihat apa yang tengah kubuka. Wajah khawatir itu berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. Namun aku telah jatuh pada sakit yang tidak terjelaskan. Aku hanya diam menautkan gigi-gigiku. Menahan untuk tidak membuka mulutku atau menimbulkan bunyi lainnya. Sebuah tindakan yang sangat lihai kulakukan sejak perceraian orang tuaku. Mode bertahanku. Air mataku mengering, rahangku mengeras. Mahira berusaha menggenggam tanganku yang sudah terlanjur kaku. Aku mengelak. Memang tidak seharusnya aku melanggar batas privasi Mahira, namun perasaan ganjil itu membuktikan bahwa ada yang disembunyikan dariku.

"Maafin aku, kalau aku banyak kurangnya buat kamu, Mas. Maafin aku kalau emang aku tidak pernah bisa bikin kamu cukup sama aku aja. Tapi please, enggak gini caranya," ucapku dengan bergetar. Aku tidak mengerti perasaan apa itu. Janggal. Perasaan amarah yang diselubungi oleh sakit dan takut. Perasaan terkhianati dan tak pernah cukup baik. Semua bergejolak ingin diungkapkan. Air mataku kembali menetes. Air mata kecewa dan sakit hati. Di tengah riuhnya Rendja Kopi, tempat pertama kali kami saling mengungkapkan puji.

Mahira memegang tanganku, mencoba menenangkanku. Dia mengeluarkan suara untuk menyuruhkan diam.

"Ssssstt. Jangan nangis. Rona, maafin aku. Ini aku yang salah, aku yang jahat. Aku udah bohongin kamu. Kamu enggak salah. Aku yang salah, itu cuma main-main aja kok sayang. Habis ini beneran kuhapus, beneran. Kamu boleh cek tiap hari, aku enggak akan begitu lagi," ucapnya kembali berjanji.

Dari sekian banyak emosi yang tak pernah dapat dimengerti selama hubunganku dengan Mahira, aku menambah satu lagi koleksi. Aku tidak pernah tahu perasaan apa itu. Kelelahan yang banyak, namun enggan untuk berpisah. Aku sudah kehabisan energi untuk marah padanya dengan alasan kebiasaan genitnya itu. Hanya saja, aku semakin patah hati melihat pesannya sungguh puitis untuk perempuan-perempuan lain. Sementara aku kehilangan Mahira dan puisinya.

Malam itu berlalu dengan kusaksikan Mahira menghapus seluruh aplikasi pesan teks tersembunyi di hadapanku. Aku sudah tidak peduli dan tidak ingin membahasnya kembali. Aku sudah cukup lelah untuk memercayainya berkali-kali. Rendja Kopi, di sanalah sesuatu dimulai dan diakhiri.

***

Komentar

Postingan Populer