Pada 2016, di Sela Keresahan

 Senja itu di sudut matamu kulihat jingga yang mulai menebal. Bersama magenta memberi gradasi pada langit di sepanjang horison. Ada binar yang indah di sana. Begitu indah. Aku suka memandangmu tersenyum, diam-diam. Aku suka mengamati setiap jengkal bibirmu. Lancip pada ujungnya. Ingin kugigiti ia terus-menerus hingga menebal. Judes, kata nenekku di kampung dulu ketika melihat bibir model itu.

Ya, ucapanmu terkadang begitu mengena pada perasaanku. Aku mengamini itu. Katamu, itu ucapan jujurmu. Kalau diibaratkan, ucapanmu seperti sambal bawang masih di atas cobeknya. Pedas dan ganas. Namun seperti sambal bawang pada umumnya, selalu enak dihidangkan ketika dibutuhkan.

Kembali pada senja itu, senja yang mungkin hanya ada di alam bawah sadarku. Kita tengah menikmati udara sejuk yang damai. Bersama burung-burung yang tengah pulang menuju sarang mereka. Di ufuk barat sana, bulatan kuning oranye hampir beredar ke belahan bumi lainnya. Mengedarkan hangat dan kehidupan bagi makhluk lain. Kita berbincang tentang apa saja, kamu berceloteh banyak. Terkadang aku tak menangkap maksudmu, tapi aku menikmatinya. Kadang aku yang berceloteh terlalu cepat dan kamu tak menangkap maksudku. Tak jarang aku kesal, kamu tak mendengarkan ceritaku yang panjang. Tak jarang juga kamu yang kesal, mendengarkan aku kesal.

Ketika tiba pada momen itu, kita bergantian membuat lelucon. Mengomentari apa saja yang lewat di pikiran. Membuat cair suasana. Membuat lagi binar di matamu. Aku kadang kehabisan obrolan, tak ada lagi yang ingin kuucapkan tetapi masih enggan usai bersamamu. Waktu seakan menjadi pengkhianat ketika dia mengendap-endap menyisakan gelap. Ia berlari meninggalkan kita berdua yang masih mengumbar aroma rindu ke mana-mana.

Aku suka kedua bola matamu yang berbinar. Seperti seorang anak manusia melihat layang-layang mengudara. Pengharapan-pengharapan yang muncul bersamaan. Kamu memberiku banyak kehidupan. Jatuh cinta yang berulang-ulang. Kupu-kupu berterbangan di dalam perut yang tak pernah usai. 

Senja itu hampir habis keseluruhan, ketika kamu nyalakan sebatang rokokmu. Aku sudah terlalu sering mengomentari kebiasaan burukmu itu, namun kamu lebih dahulu mengenal rokok daripada aku. Gumpalan putih itu menyebul dari balik bibirmu. Aku yakin nikotin dan tar yang merasuk dari setiap batang rokok itu tengah menelusuri aliran darahmu kemudian sedikit demi sedikit mengendap. Sebagian lainnya masuk ke paru-paru. Mengepul di sana dan tertawa jahat. Aku membenci mereka yang ingin membunuhmu, tapi kamu menikmati dibunuh perlahan seperti itu.

Matamu tetap memandang ke arah di mana matahari telah tenggelam. Lalu menunduk dan terdiam cukup lama. Aku menyeruput perlahan tehku yang hampir dingin, kamu tetap terdiam. Gelas kopi di depanmu sudah tak lagi mengepulkan asapnya. Tinggal separuh dengan sisa kopi yang mengerak di dinding gelas. Kamu sepertinya memang belum ingin menuntaskannya. Kamu masih sibuk dengan pikiranmu. Aku masih sibuk dengan memperhatikanmu. Kita sibuk, masing-masing.

“Kenapa, Mas?” Tanyaku perlahan. Takut merobek lamunan yang tengah kamu bangun sendirian. Kamu mengangkat kepala perlahan. Matamu masih berbinar namun tak seindah beberapa saat lalu.

“Tidak. Aku tengah menenangkan diri,” ucapmu sambil sesekali mengepulkan asap membentuk lingkaran ke udara. Aku meringis. Rasa bersalahku selalu timbul dari hal-hal kecil seperti itu. Melihatmu berubah ekspresi dalam waktu singkat, bahasa tubuhmu, bahkan isyarat-isyarat yang kamu sendiri pun tidak pernah sengaja memancarkannya.

“Maafkan aku, Mas.”

Kamu terus terdiam. Kita telah memasuki detik-detik yang menyakitkan. Bagiku, detik-detik seperti itu telah membunuhku. Membunuh mentalku. Detik di mana rentetan peristiwa masa lalu berputar di dalam otakku. 

Senja telah beralih ke petang. Aku sudah duduk di atas vespamu yang perlahan menyusuri jalanan. Lampu-lampu kota mulai dinyalakan, warung-warung pinggir jalan mulai membuka tendanya, mempersilahkan pelanggan memuaskan kelaparan. Kamu sudah tertawa-tawa menyenandungkan lagu-lagu yang kamu kenal, namun aku masih terdiam di belakang punggungmu.

“Jangan tidur, sayang.” Katamu sambil menyentuh punggung tanganku yang melingkar di pinggangmu.

“Tidak, aku tidak tidur,” jawabku sambil meringis mencoba membuat semua seolah baik-baik saja. Ada badai di kepalaku, namun biar ku redam itu sendirian.

“Mau makan di mana? Aku lapar.” Tanyamu tiba-tiba. Setelah menikmati senja di alam bawah sadarku, kini kau mengajakku makan. Masih tetap di imajinasiku.

“Di warung depan itu saja, sepertinya tak begitu ramai,” kataku sambil menunjuk ke warung tenda berwarna biru. Tempatnya di pinggiran jalan dekat plengkung gading. Kami turun setibanya di depan warung, memilih tempat duduk lesehan samping tenda lalu memesan makanan. Menikmati petang yang anggun dari kota ini membawa lagu tersendiri di otakku. Melihat pengayuh becak melintasi plengkung gading, beberapa delman, pengendara sepeda, pejalan kaki, dan sisanya pengendara kendaraan bermotor. Kamu kembali menyalakan rokokmu, asap kembali menyebul.

Di satu sisi aku membenci benda jahanam itu, di sisi lain, aku mencintai sosok yang berada di balik asap pekatnya. Di bawah langit kota yang indah itu, aku menatapmu diam-diam. Kamu sibuk memainkan layar pintar milikmu. Membuka beberapa laman online dan menjelajahi dunia maya. Kamu menikmati duniamu sendiri. Aku tetap menikmatimu.

Kadang, kamu tersenyum dan tertawa dengan benda di tanganmu itu, lalu aku tersenyum melihat senyummu. Kadang, kamu menikmati rokokmu, lalu kembali tenggelam, sedang aku tetap tenggelam pada matamu.

“Mas, aku pengen ngobrol,” kataku mulai bosan. Kamu masih sibuk dengan berbagai kegiatanmu dalam layar. Aku pun terdiam. Enggan memulai, mungkin kamu tengah mempunyai tugas lain malam ini.

Malam semakin larut, namun kota ini tak pernah tertidur. Sebuah ruangan menjadi tempat kita kembali. Kamar kosmu dengan penerangan yang remang membuat aku ingin tertidur saja. Namun kamu mencegahku. Katamu, jangan tidur dulu, waktu masih sore.

Kita berbincang banyak hal, tentang guyon-guyon yang entah. Tentang bau ketekmu yang sumringah, tentang rambutku yang mulai kamu komentari kerapihannya. Tentang sinetron, tentang pemerintah, tentang novel, puisi, tentang semua hal yang mampu kita bicarakan. Tentang pengemis yang mati diperkosa minggu lalu, tentang pemulung yang ditangkap lalu melarikan diri, tentang kangkung yang ditanam di kampungku, tentang semua hal yang terjadi. Tentang tawa yang mengudara kemudian kamu bekap itu, katamu tidak enak di dengar tetangga sebelah kamar. Tentang malam yang kulewati dengan celotehan-celotehan gila. Lalu tiba-tiba kamu terdiam, sama seperti perbincangan sebelumnya.

Matamu menerawang, binar itu kembali redup hampir hilang. Aku kembali tak mengerti. Kamu menghela napas panjang. Ditutupinya matamu. Aku kembali terdiam, hanya memegang dadamu. Berharap kamu merasakan sentuhanku. Berharap kamu menyadari bahwa kamu tidak sendiri.

“Aku tidak mau bangun besok pagi, aku mau waktu berjalan cepat,” Katamu selanjutnya. Hujan di sudut mataku meleleh. Binar itu benar-benar hilang sekarang. Perasaan bersalah dengan seluruh rentetan masa lalu terbayang jelas.

“Kenapa? Kamu tidak suka dengan kehidupanmu, Mas?” tanyaku perlahan. Berusaha memasang telinga dengan seksama.

“Sepertinya. Aku malu bertemu siapa-siapa sekarang,”

Badai di dadaku kembali bergemuruh. Bukan kamu yang harusnya malu, tapi aku yang telah membuat kamu terpuruk. Aku yang menghancurkan apa yang telah kamu bangun. Bahkan aku tak mampu membantumu mengembalikan semua itu.

“Maaf, Mas.” Ucapku lirih. Aku tak berani menyentuhmu. Aku merasa bersalah cukup dalam. Ingin rasanya aku pergi jauh dari kota ini. Membiarkanmu memperbaiki nama dan reputasimu. Aku yang membuat semua mimpimu jatuh. Aku. Aku, bukan dirimu.

 Kamu menatapku. Matamu berkaca-kaca. Dan aku benci membuatnya begitu. Aku membenci diriku sendiri.

“Sebaiknya kamu pulang, sayang. Aku sedang tidak enak hati sekarang,” katamu. Aku segera bangkit. Mengambil semua barangku yang tergeletak. Kemudian meninggalkanmu sendirian. Aku sudah tak memiliki muka untuk tetap bersikeras di kamarmu. Aku lebih baik pulang, atau malah tak pulang.

Ku arahkan motorku ke sebuah taman. Pukul 11 malam. Aku katakan sebelumnya, kota ini tak pernah tertidur. Maka taman tetap ramai oleh mereka yang membutuhkan teman. Aku sendirian, memakan kacang rebus dari penjual keliling yang lewat sambil sesegukan.

Kamu adalah penulis yang tengah melejit namanya, namun tiba-tiba redup karena kedatanganku. Karyamu yang sebelumnya mendapat tempat di deretan buku-buku terlaris mendadak hilang dari peredaran. Katamu, bukan karena hubungan denganku yang mencuat ke publik, tetapi memang pasar yang kurang baik saat-saat itu. Namun gosip beredar lebih cepat daripada gerakmu menutup telingaku.

“Bekas pelacur menjadi kekasih seorang penulis terkenal,” bisik seseorang di ujung jalan sana.

“Bekas simpanan pejabat menggoda penulis sekarang,” ucap remaja di perjalanan pulang sekolahnya.

“Jiah, jangan buku ini. Ini bukunya si penulis yang ngajak kencan sundal,” kata seorang pemuda di toko buku langganannya.

Aku menangis perlahan. Mungkin pukul 12 malam, ketika aku kemudian memutuskan untuk meninggalkan taman dan orang-orang yang membutuhkan teman. 

Segera setibanya di rumah, aku mengirimimu pesan selamat malam dan ucapan tidur. Kamu hanya membalas singkat. Aku tahu kamu bermasalah, namun entah. Kehadiranku tak cukup menghiburmu. Itu sebuah kegagalanku. Kegagalan yang tidak hanya sekali, namun telah ribuan kali. Tentang obrolan kita yang tetap tidak membuatmu merasa lebih baik, tentang kehadiranku yang bahkan menambah beban baru untukmu. Tentang rengekanku yang menjadi racun dalam tubuhmu. Tentang aku yang tidak mampu membahagiakanmu.

Sebuah surat elektronik akhirnya ku alamatkan untukmu.

“Selamat malam, Mas. Maaf untuk setiap ketidakmampuanku mengimbangimu. Maaf untuk setiap hal yang bermula karena aku. Maaf untuk beban moral dan materimu. Maaf untuk waktu yang terbuang sia-sia meladeni kesia-siaanku. Maaf. Iya ataupun tidak, aku adalah penyumbang kehancuran mimpimu. Aku yang menyebabkan setiap hal berjalan begitu sulit. Mungkin jika tidak bertemu denganku, kini hidupmu sudah begitu indah, Mas. Mungkin kamu dapat wanita cantik yang terpelajar dan baik imannya. Mungkin kamu mendapat wanita pilihan dari keluarga baik-baik saja. Mungkin karyamu tidak perlu tersendat. Mungkin kini bukumu sudah terbit dan mengalami naik cetak beberapa kali. Mungkin kamu menjadi penulis yang produktif. Tidak menjadi gunjingan. Tidak mendapat kutukan. Aku mengasihimu lebih dari yang seharusnya, Mas. Memang. Namun jika kasihku malah membebanimu, aku tidak tega. Kamu lebih mampu berkembang, namun karena kecerobohanku mengatakan bahwa aku menyukaimu membuat semua ini terjadi. Aku yang salah, Mas. Jangan jadi penakut karena aku, Mas. Jangan menghancurkan dirimu sendiri. Aku yang tidak tahu diri. Menghancurkan mimpi yang sudah lama kamu bangun itu. Aku wanita yang tidak mampu mengimbangi semua dari yang kamu punya, Mas. Aku yang sebenarnya bukan siapa-siapa. Kamu memiliki kesempatan untuk menjadi siapa-siapa, hanya saja aku menghalangimu. Aku yang menghalangi langkahmu. Aku tak suka melihatmu terjatuh ataupun kesakitan, Mas. Aku tak suka binar matamu redup menghilang. Aku menyukai binar itu. Pertahankan ia, Mas. Pertahankan. Jangan tiba-tiba diam, Mas. Hatiku sembilu. Ada atau tidak adanya diriku, sepertinya tidak berefek bagimu, Mas. Bahkan jika aku masih tetap bersikukuh memilikimu, itu hanya akan melukaimu makin jauh. Masa depan yang kamu mimpikan akan sulit diraih bersama parasit sepertiku. Semoga senja besok menghantarkanmu pada senja yang lebih indah dari sebelumnya. Semoga senja besok memberimu binar yang tak akan menghilang meski kamu terdiam,”

Terkirim. Lalu aku menenggak satu botol penuh tablet obat tidur dengan dibantu segelas air putih. Berharap tidurku nyenyak malam ini dan malam berikutnya. Kini tak ada senja yang terjadi di alam bawah sadarku, semua hal menjadi alam sadar. Senja tadi tentang senyum dan matamu yang berbinar ternyata memang benar adanya. Tentang kecupan-kecupan hangat, tentang genggaman tangan. Tentang ajakan makan malam, tentang lampu kota, tentang ucapan kasih dan cinta. Tentang belaian, tentang desahan, tentang semua yang terjadi di antara aku dan kamu makin lama makin nyata. Semua hal itu memang ada, bukan sebuah khayalan atau imajinasi belaka. Namun aku mengejang, semua yang nyata menjadi sirna. Lalu, gelap.  


Yogyakarta, 1 Agustus 2016


Komentar

Postingan Populer