Uyah (2017)

Suatu sore di musim penghujan. Berteduhlah aku di emperan pertokoan. Mengamati satu persatu kendaraan yang melintas. Warna-warni jas hujan para pemotor yang berpacu dengan waktu yang kian basah. Tumpahlah sudah sedih yang telah dikandung langit, menatap pengemis lapar dan gelandangan tua yang tertidur di emperan. Sesekali gigil kemudian muncul di tubuhku. Udara yang dibawa sang hujan memacu remang pada roma. Kusilangkan tangan di depan dada, berupaya memeluk diri sendiri agar hangat.
Seorang tua memarkirkan sepeda kumbangnya di depan toko, kemudian menujuku. Tubuh kurusnya berlari di tengah hujan. Rambut putihnya telah kebasahan. Berdiri ia di sampingku, memegang lengan yang terbuka sebab kaos pendeknya. Kutaksir, usianya sekitar lebih dari 60 tahun. Mungkin lebih tua dari usia kakekku di rumah. Sudah menyusut dan keriput. Pipinya sudah kempot, mungkin beberapa gigi sudah tanggal.
"Nderek ngiyup, nggih dek," ucap Bapak Tua kepadaku. Tubuhnya sudah cukup basah, beberapa gigil kedinginan sedikit menggoyang-goyangkan tubuh kurusnya.
"Monggo, Pak". Kemudian aku bertanya, "Badhe tindhak pundi, Pak?"
"Oh, saking warung dek. Nembe mawon tumbas uyah kangge masak mangke," jawabnya sambil menunjuk arah warung yang tadi ditujunya.
"Woalah, kok jawah-jawahan ngeten, Pak?" lanjutku membuka obrolan lebih jauh. Menghangatkan suasana di tengah hujan dan beberapa gemuruh petir.
"Lhah nggih pripun, wong ontene sepeda. Nek jawah nggih klebus, dek. Hahaha. Wau niko garwo kulo badhe ndamel sambel trasi, kirang uyah e. Nggih kulo tumbasaken, melas nek ken mekdal piyambak," jelas kakek tua itu, sambil mengusap mukanya yang basah sesekali.
"Lhah, dalem e Bapak, pundi pak?"
"Kulo nggih niku saking sawah-sawah Desa Semanding, ngilen wonten margi alit, nggih mlebet mriku," Kemudian aku membayangkan, Desa Semanding berjarak kurang lebih 7 kilometer dari tempat di mana aku berdiri sekarang. Tidak habis pikir, untuk apa sejauh itu dia membeli garam hingga ke tempat ini.
"Loh, kok tebih sanget, Pak tumbas uyah e? Nopo teng mriko mboten onten warung nopo pripun, pak?"
"Hahaha, nggih onten dek, nanging sami telas sedanten teng mriko. Kulo nggih bingung, masa laut ambane mboten keitung kados niko kok mboten ngasilaken uyah nopo pripun, nggih?" Tanya bapak itu sambil sesekali kedinginan. Aku hanya tersenyum kecil.
"Lhah panjenengan badhe pundi?" Tanya lelaki tua itu kemudian.
"Kulo niki wau badhe wangsul, saking sekolah. Eh malah jawah,"
"Sekolah wonten pundi dik?" "Jogja, pak."     

Komentar

Postingan Populer